Roma 12 : 1 – 21

Kasih yang benar itu pasti memberi. Memberi berarti juga siap untuk melepaskan, merelakan untuk tidak lagi jadi memiliki. Yoh 3:16 dengan jelas menunjukkan akan hal itu. Karena kasihNya akan dunia ini maka Allah memberikan anakNya. Dan pemberian dalam rangka kasih ini harus dilakukan dengan tulus, murni dan tidak ada dalam rangka kemunafikan.

Dalam teks bacaan di Roma 12, Rasul Paulus memberikan teologi yang baru tentang persembahan dalam rangka peribadahan. Persembahan yang selama ini hanya diketahui identik dengan materi, ternyata sebagai jemaat yang telah menerima Kristus sudah sepatutnya ditingkatkan dengan memberikan persembahan tubuh (1). Persembahan tubuh yang dimaksud disini bukan berarti dengan mengorbankan diri dengan sia-sia. Tapi yang hendak ditunjukkan oleh Rasul Paulus ialah sesungguhnya tidak ada alasan lagi bagi jemaat untuk tidak dapat memberikan persembahan. Pada saat engkau tidak mempunyai materi tetapi engkau mempunyai waktu, tenaga dan lainnya, semua itu dapat menjadi persembahanmu kepada Tuhan. Jadi ingatlah kembali, setelah karya keselamatan itu telah terjadi pada diri kita, maka hidup harus ada didalam DIA dan mewujud dalam laku hidup kita yang sama dengan DIA, memberikan yang terbaik.

Persembahan yang sedemikian rupa, diingatkan pula oleh Rasul Paulus, haruslah dilakukan dalam ketulusan atau tidak dalam kepura-puraan (9). Kepura-puraan dapat diterjemahkan dengan kemunafikan, ada niat yang tidak tulus, bahkan tindakan itu dilakukan semata-mata demi kepentingan diri sendiri. Kita kembali diingatkan, bahwa kasih itu harus memberikan yang terbaik sebagai wujud bakti pada DIA. Memberikan yang terbaik dilandasi dengan ketulusan dan tidak penuh dengan kepura-puraan. Hal itu akan dapat dilakukan ketika hidup kita telah sungguh-sungguh mengalami rahmatNya. Jadi, mari kita cek kembali kapan perjumpaan pribadi kita dengan sang penebus itu dalam kisah kehidupan yang ada. Jika sudah ada, apakah kita sudah memberikan yang terbaik dengan tulus sebagai wujud kasih kepadaNya? Jika belum, mengapa?

Pdt. Elfriend P. Sitompul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *