Sebelumnya Aku Buta, namun Sekarang Aku Melihat

(Yohanes 9 : 25)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Bagaimana Anda melihat diri Anda? Apakah Anda dapat melihat karya dan rencana Allah dalam hidup Anda?
  2. Bagaimana pula Anda melihat Allah? Apakah Ia adalah Bapa yang baik atau Musuh yang mengerikan?
  3. Bagaimana Anda melihat jalan-jalan hidup Anda? Apakah itu seperti benang kusut yang tidak saling berhubungan atau justru Anda melihat ada benang merah yang saling berkaitan menuju masa depan yang penuh harapan?
  4. Tahukah Anda bagaimana cara terbaik TUHAN dalam ‘menaklukkan’ ego Anda?

Renungan Firman (15 menit):

 Seorang pemuda dengan jujur pernah berkata, “Saya tidak habis pikir mengapa seseorang dapat begitu emosional menyanyikan lagu rohani bagi Tuhan. Jujur, saya tidak merasakan apa-apa. Saya bahkan kesulitan menghayati lirik lagu tsb karena saya tidak punya pengalaman apapun tentangnya. Ketika lirik berkata “Banyak hal yang Kaubuat di dalam hidupku”. Saya pribadi bingung, jangankan banyak, satu pun itu jarang terjadi. Ketika lirik berkata, “rancangan indah-Mu terjadi dalam hidupku”. Saya malah mempertanyakan: Tuhan, kalau Kau bilang ini rancangan indah-Mu, aku tidak mau mengakui-nya karena ini sama sekali tidak indah. Ketika lirik itu kembali berkata, “Bapa yang mengerti, segala yang Kuperlu. KasihMu sempurna, nyata dalam hidupku”. Aku kembali ingin protes: jangan klaim diri-Mu sebagai Bapa yang mengerti. Aku justru merasa ditinggalkan, tidak dikasihi apalagi dipedulikan. Dimana kasih sempurnaMu? Aku tidak mengalami apapun. Bahkan yang kuperlukan pun tidak Kau beri, apalagi yang kuinginkan. Ini lagu ngga jelas”.

Di sisi sebaliknya, ada pemuda lain yang selalu bersaksi tentang keberadaan dan kebaikan Tuhan dalam keseharian-nya. Bahkan untuk hal sepele sekalipun, ia selalu dapat melihat karya Tuhan dalam hidup-nya. Ketika melihat batu, ia mendapat rhema Matius 4:4; ketika melihat burung, ia mendapat rhema Matius 6:26; ketika dikhianati orang terkasih pun, ia dapat rhema Yohanes 13:18. Bagi pemuda ini, Allah ada dimana-mana dan Ia sangat mudah untuk ditemui bahkan ia justru heran melihat orang-orang yang tidak pernah mengalami Allah sama sekali di hidupnya. Bagi pemuda ini, Allah itu sangat riil dan terlibat aktif dalam segenap kehidupan-nya. Allah hadir dalam segala musim kehidupan-nya: sakit sehat, senang susah, kaya miskin, dsb. Ia justru kesulitan untuk memiliki momen ‘me time’ jauh dari Allah.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apakah Allah pilih kasih dan beda perlakuan terhadap kedua pemuda tsb? Yang satu dilimpahi banyak sementara satunya justru Ia menyembunyikan diri?
  2. Atau justru terdapat perbedaan kepekaan di antara keduanya? Mengapa yang satu peka, sementara lainnya apatis?
  3. Bagaimana agar seseorang menjadi peka akan keberadaan Allah dan mengerti bahwa segala sesuatu itu dikerjakan Allah untuk kebaikan-Nya?
  4. Apa jadinya jika Allah membiarkan manusia terus berjalan sesuai dengan tekad dan ambisi-nya? Ending seperti apakah yang akan didapatinya kelak?

Kesimpulan (20 menit)

Yang buta melihat, sementara yang melihat menjadi buta — sebuah ironi yang sungguh terjadi di kisah kesembuhan seorang yang buta sejak lahir. Dikisahkan bahwa perjumpaan pribadi dengan Yesus membuat mata seorang yang buta sejak lahir itu menjadi celik, namun sebaliknya, meskipun orang banyak (terutama orang Farisi) telah melihat mujizat yang begitu luar biasa dilakukan oleh Tuhan Yesus, mereka tetap memungkiri-Nya bahkan mengejek dan mengusir orang yang telah celik itu ke luar. Lalu Yesus pun berkata, “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta (ayat 39)”

Ada banyak cerita di Alkitab tentang ‘kebutaan’, dimana TUHAN sendiri pernah berkata, “siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan yang Kusuruh? Siapakah yang buta seperti suruhan-Ku dan yang tuli seperti hamba TUHAN (Yesaya 42:19)?” Ya, Allah justru menegur para pemimpin rohani umat — mereka yang seharusnya melihat Allah secara bening, justru tidak mengenal Allah. Jika mereka sendiri buta, bagaimana dengan umat yang dipimpin-nya? Mereka seperti orang buta yang menuntun orang buta. Dan jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lubang (Matius 15:14). Begitu juga kisah nabi Bileam ditegur keledai-nya — dimana sesungguhnya keledai-nya dapat melihat Malaikat TUHAN berdiri di jalan dengan pedang terhunus di tangan-Nya, namun Bileam tidak melihat-Nya, bahkan ia nyaris mati seandainya si keledai tidak berjalan menyimpang (Bilangan 22:21-33:). Atau kisah Gehazi yang begitu panik ketika banyak tentara berkuda Raja Aram datang mengepung, namun Elisa berdoa, “Ya TUHAN, bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat.” Maka TUHAN membuka mata bujang itu, sehingga ia melihat. Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling Elisa (2 Raja-raja 6:17). Atau Saulus yang begitu berkobar-kobar hati untuk menganiaya orang percaya mendadak menjadi buta ketika melihat Terang saat perjalanan menuju Damsyik – dimana dalam kebutaan-nya tersebut, akhirnya permenungan pribadi-nya membawa dia seolah-olah ada selaput gugur yang dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi (Kis 9 :18). 

Layaknya kamera yang salah settingan focus-nya, atau kaca depan mobil yang dipenuhi air tanpa di-wiper, atau orang yang berjalan sendirian di tengah hutan berkabut pekat — kita seringkali “mengalami kebutaan rohani”, meraba-raba dalam gelap dan berusaha menangkap sesuatu ‘sekenanya’ – menurut apa yang kita pandang benar. Begitu pula lah pengenalan kita akan TUHAN. Setiap kita memiliki pakem sendiri dalam benak kita tentang siapa aku, siapa Allah, dan kemana aku harus melangkah dan menjadi sesuatu di masa depan – sebuah pakem yang seringkali muncul dalam ketidakmengertian kita. Kita buram dalam melihat kehidupan ini. Ya, seperti orang berteriak, “Woi, ini kenapa semua jadi serba gelap begini, tolong lampunya dinyalakan!” Sementara orang di sebelahnya berkata, “Sik atuh sadar. Masuk ruangan teh kacamata hitam-nya dilepas dulu”.

Buta rohani adalah penyakit akut. Ketika kita tidak dapat melihat sebagaimana Allah melihat, ketika cara dan sudut pandang kita masih berada di posisi yang selalu berseberangan dengan Allah, maka segala sesuatu tentang hidup ini adalah buram. Mengapa kita tidak meng-kalibrasi ulang sudut focus kita agar sejalan dengan Allah? Meng-adjust settingan ‘camera mata rohani’ kita seperti cara Allah melihat – maka segala sesuatu tentang kehidupan ini akan menjadi “tersusun rapi sesuai koridornya”? Mari jemaat TUHAN, yuks, kita belajar re-framing – menyelami jalan sejarah kehidupan kita yang telah lalu dengan cara pandang Allah dan coba mencari meaning (arti) dari setiap momen tsb — apa maksud Tuhan di balik setiap kejadian hingga kita dapat dengan lantang berteriak, “I was blind, but now I see (dahulu aku buta, namun sekarang aku telah melihat)”. Maka kita akan mulai mengalami hidup yang sesungguhnya. Tuhan Yesus baik. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *