Renungan Minggu, 27 Februari 2022

Yohanes 1 : 29 – 34, 1 Korintus 7 : 23

Kalau kita melihat apa yang ditawarkan Iblis kepada Hawa, yang juga ditawarkan kepada Adam, sepertinya tawaran Iblis itu juga ada dalam bentuk kuasa, menjadi sama dengan Allah. Kuasa memang adalah bagian yang sangat seksi dan menggoda bagi manusia. Maka dari situ muncul kalimat yang mengatakan: untuk mengetahui siapa seseorang itu, maka berikanlah ia kekuasaan. Dari kuasa yang ada, maka akan terlihat seperti apa pribadi dia yang sesungguhnya. Berubah menjadi buruk, atau tetap berada dalam kemurnian dirinya.

Hal sedemikian sepertinya ada dalam kehidupan Yohanes pada saat itu. Ia bukan pribadi yang biasa-biasa saja. Ia punya banyak pengikut yang bisa diduga jumlahnya tidak sedikit. Untuk menjadikan dirinya tuan, boss atas orang lain – yang mempunyai jari sakti untuk tunjuk sana dan sini — sepertinya itu bukan hal yang sulit. Hal ini terdengar pula kepada para imam dan mereka mendatangi Yohanes untuk memastikan akan hal tsb (Lihat Yohanes 1 : 19). Yohanes tidak tergoda untuk berkata “Ya, itu aku” namun ia dengan jelas mengatakan “tidak, bukan aku”. Lalu ia menjelaskan siapa dirinya dalam ayat 23, ia hanya seorang pembuka jalan, hamba yang memberi jalan kepada sang Mesias yang akan datang atau sudah ada itu.

Esoknya kisah itu terjelaskan, ketika sang Mesias itu datang menjumpai-nya (ayat 29). Yohanes menunjukkan siapa Dia yang ada di hadapan-nya itu, “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia”. Ini Dia, bukan aku (30) – sebuah penyataan yang untuk sampai kepada hal ini, Yohanes harus melalui waktu yang tidak singkat (lihat ayat 31, dalam kalimat: Dan aku sendiri pun mula-mula tidak mengenal Dia, … ). Kuasa yang didapatkan Yohanes ternyata tidak menghilangkan kemurnian diri-nya. Ia tetap adalah sang pembuka jalan saja. Ia tidak mau mengambil kesempatan untuk mengambil kemuliaan untuk diri-nya. Tetap kemuliaan itu hanya ada pada Sang Anak Domba Allah itu. Dan ini memang tidak mudah, proses yang dijalani menjelaskan dan menetapkan hal ini ada pada diri Yohanes. Bagaimana dengan kita? Apakah segala yang ada dalam kehidupan ini adalah untuk menunjukkan DIA atau justru kita lah dengan segala embel-embel yang ada yang ditunjukkan? Sudahkah proses pengenalan DIA secara mendalam tertemukan? Dan apakah itu semakin menunjukkan IA? Mari memberi jawab.

Pdt. Elfriend P. Sitompul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *