Renungan Minggu, 8 Mei 2022

Aku Besertamu

Kisah Para Rasul 4 : 32 – 37

Pandemi Covid membawa banyak dampak negatif. Salah satunya relasi personal dan sosial sering terhambat. Proses pendidikan dan ibadah sering menggunakan media digital. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Para remaja pemuda kehilangan hubungan pertemanan, apalagi para lanjut usia. Tetapi tahukah bahwa kita patut bersyukur pandemi Covid terjadi mulai Maret 2020? Bagaimana seandainya pandemi terjadi pada 1990, 2000 atau 2005? Seluruh proses belajar, ibadah, bisnis dan relasi personal serta sosial akan berhenti secara total. Sebab sebelum 2020 manusia belum mampu mengembangkan teknologi informasi melalui Zoom, Ms-Team, Meet, dsb.

Problem utama bukan perubahan teknologi, tetapi adalah bagaimana kita mampu berelasi dalam keadaan apa pun. Sebab kebutuhan utama manusia adalah relasi personal dan sosial. Teknologi berupaya membantu manusia menjalin relasi untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi teknologi bukan untuk mengganti peran relasi antar sesama. Relasi fisikal (ragawi) atau digital bergulat dengan kebutuhan manusia untuk caring and sharing. Peduli dan berbagi. Kedua aspek inilah yang tercermin dalam kehidupan jemaat perdana. Mereka saling peduli dan dinyatakan dengan berbagi, sehingga tidak ada yang kekurangan. Sebab mereka bersedia berbagi harta milik.

Tokoh yang menonjol sehingga disebutkan namanya adalah Barnabas (artinya: anak penghiburan). Barnabas adalah teladan yang memberi penghiburan, caring and sharing (peduli dan berbagi). Di balik sikap caring and sharing, sesungguhnya mengandung kemampuan untuk reconciliation (berdamai).  Kita tidak mampu peduli dan berbagi apabila kita mengalami konflik / pertentangan. Dalam hidup bersama kita dipanggil memiliki kematangan rohani untuk saling mengampuni / memaafkan.

Tiga landasan rohani yaitu caring, sharing and reconciliation akan menjadi realita apabila didasari oleh iman kepada kebangkitan Kristus (Kis. 4 : 33). Di dalam kebangkitan Kristus, kuasa belenggu kematian yaitu egoisme, keserakahan dan kemelekatan dihancurkan. Kebangkitan Kristus tersebut memampukan para murid dan jemaat perdana menjadi persekutuan yang inspiratif walau berada di tengah-tengah tekanan, penindasan, dan permusuhan masyarakat sekitar. Tidak mengherankan Karl Marx terinspirasi oleh pola kehidupan jemaat perdana dalam komunal mereka. Karl Marx meniru tetapi mengabaikan dasar persekutuan (koinonia) jemaat perdana yang berpusat pada kebangkitan Kristus. Karl Marx membangun konsep ekonomi dengan nama “komunisme.” Dalam konteks ini reconciliation (berdamai) tidak diwujudkan Karl Marx dalam kasih dan keadilan.

Di bulan Misi GKMI Bandung, setiap kita dipanggil untuk menerapkan 3 pondasi relasi jemaat perdana, yaitu: caring-sharing-reconciliation (peduli, berbagi dan berdamai). Dalam kuasa kebangkitan Kristus, kita dipanggil menjadi para sahabat yang mau mendengarkan dengan empati. Tidak cukup kita bersikap sebagai teman yang “simpati.” Sebab sikap simpati tidak akan mendorong kita untuk sungguh-sungguh “mendengarkan” (listening), tetapi hanya “mendengar” saja (to hear). Dengan sikap empati kita akan menjadi sahabat dan pendamping bagi setiap anggota keluarga dan teman menghadapi pergumulan, persoalan, dan perubahan zaman (teknologi) secara bermakna.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *