(Efesus 4:31-32)
Setelah berdamai dengan Tuhan lalu berdamai dengan diri sendiri, maka sekarang kita belajar berdamai dengan sesama. Hal ini penting, sebagai wujud dari kehidupan yang telah dilawat dan diubahkan oleh kasihNya. Artinya ketika kita menjadi orang beriman maka sudah sewajarnya dan semestinya ada perubahan dalam hidup kita, termasuk salah satunya bentuk kehidupan yang dijalani dengan orang lain. Wujud dari sikap yang seperti itu akan menunjukan pula siapa yang ia Imani dalam kehidupan, ada kesaksian dari Tuhan yang dipercayai.
Jemaat Efesus adalah jemaat yang terdiri dari beberapa etnis suku. Ini merupakan kekuatan tapi juga sekaligus menjadi ancaman. Ketika ego kesukuan masih terlalu dipegang dan diperjuangkan untuk menjadi bagian yang ada maka konflik akan sangat bisa terjadi. Karena itu Paulus mengirimkan suratnya untuk mewaspadai hal tersebut. Ada sikap-sikap hidup yang harusnya dapat dikuasai dan dibuang yaitu kepahitan, kegeraman, kemarahan, kegaduhan, dan fitnah (31). Kalau kita amati dan cermati, semua yang hendak dikuasai dan dibuang itu paling tidak berasal dari emosi yang tak terkontrol, sebaliknya jika emosi tersebut bisa dikontrol dengan baik maka semua itu tidak akan terlalu menguasai diri. Sehingga muncullah keramahan, kasih mesra dan saling mengampuni sebagai wujud dari Allah yang telah mengampuni mereka (32).
Melihat potret besar dari hidup yang telah terlawat oleh kasihNya menjadi hal penting. Karena dengan itulah manusia akan terubahkan dalam kehidupannya. Tidak lagi terlalu memikirkan dirinya sendiri, karena sudah merasa dibenarkan dan dijamin oleh DIA, sehingga yang menjadi fokus hidupnya adalah kita, bukan hanya dirinya sendiri. Bagaimana kebersamaan dapat dibangun dengan baik bukan untuk kemegahan diri, tetapi untuk DIA yang telah melawat hidup. Itulah paling tidak usaha yang dikerjakan sebagai wujud berdamai dengan sesama.
Pdt. Elfriend P. Sitompul