Kolaborasi bukan Kompetisi (Galatia 6 : 2)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apa dampak positif maupun negatif dari  pandemi Covid-19 bagi kehidupan Anda!
  2. Apakah tahun-tahun ini Anda mengalami kehidupan yang semakin sulit atau justru semakin matang dan berbobot?
  3. Gaya apakah yang Anda pakai dalam menyikapi perubahan yang sangat drastis dari keadaan sekeliling Anda: mencari sebanyak-banyaknya sahabat / partner/ mitra atau justru semakin tertutup / sendiri / menghindari hubungan relasi?
  4. Apa efek dari memiliki banyak relasi dibandingkan efek dari memiliki banyak kompetitor? Manakah yang lebih baik?

Pengantar Firman (10 menit):

Double Disruption’ – adalah istilah yang dikemukakan oleh Menko Airlangga terkait dampak pandemi Covid-19. Dalam keadaan normal saja, disruption akibat peralihan Revolusi Industri 4.0 sudah sangat terasa. Digitalisasi, teknologi baru serta kecepatan internet 5G bahkan 6G akan membawa kita menjadi smart society (masyarakat cerdas) yang hidup dalam smart city (kota cerdas). Ada banyak ruang untuk di-explore oleh mereka yang melek teknologi, sebaliknya pula, hanya tersisa “sedikit potongan kue” namun diperebutkan banyak orang di dunia offline. Dunia sedang ber-transformasi dan siap menggilas siapa saja yang gagal beradaptasi dengan perubahan tsb. Ada banyak perusahaan raksasa di masa lampau seperti Nokia, Blackberry, Yahoo, Microsoft, Kodak menjadi limbung tergantikan pemain baru yang awalnya kecil namun karena mereka ‘relevan’ dengan konteks kebutuhan jaman, mereka berkembang sangat pesat. Google, Apple, Meta, Amazon, Tesla adalah perusahaan multinasional dengan pendapatan per tahun mereka bahkan berkali-kali lipat GDP negara Indonesia. Dan disruption pertama ini semakin dipercepat oleh adanya pandemi Covid-19 – double disruption. Apakah kita aware dengan kondisi ini?

Secara Generasi pun terjadi pergeseran value. Jika Generasi Baby boomer – Gen X dikenal sifat kompetitif-nya dimana seorang bernama Honda akan sebisa mungkin menghambat orang lain bernama Suzuki untuk berkembang. Mereka akan saling berebut mengambil posisi terdepan, menancapkan logo perusahaan dimana-mana – Generasi yang sangat mementingkan simbol. Pokoknya elektronik harus ada tulisan ‘Sony’, motor harus Honda, baju harus berlogo Nike, PC harus Intel Inside – dibenturkan dengan Generasi Z (milenial) yang lahir sudah punya banyak opsi. Mereka tidak peduli merek, mereka tidak butuh melihat logo, mereka mencari value, mencari apa yang ada di dalam-nya. Tidak masalah pakai Handphone merek ‘sayur’ pun asalkan berfungsi baik, tidak masalah pakai baju logo ‘antahberantah’ pun asal enak dipakai. Dan millenial kills everything.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Mengapa dinosaurus punah tapi makhluk lain dapat bertahan?
  2. Apakah saat ini pun Anda merasa sedang menjadi ‘dinosaurus’ yang sebentar lagi punah? Tahu harus berubah, tapi tidak tahu caranya.
  3. Ya, dinosaurus tahu bahwa hujan meteor akan datang, tapi mereka tidak punya cara untuk mengaktifkan ‘survival mode’ mereka. Apakah Anda telah menjadi pribadi yang relevan dengan konteks jaman sekarang atau justru nyaris punah?
  4. Gaya seperti apakah yang akan bertahan di abad milenial ini menurut Anda?

Kesimpulan (25 menit)

Jika jawaban dari pertanyaan di atas mayoritas ‘menuduh’ diri sendiri bahwa kita mungkin ‘si dinosaurus’ tsb, kabar baik adalah: Anda tidak sendirian. Dinosaurus adalah penguasa di jaman-nya, di habitat lama-nya tapi satu yang tidak mereka sadari. Mereka memang tetap dan tidak berubah, tapi jaman dan habitat ekosistem mereka justru telah berubah. Mereka yang tadinya ‘sesuatu (something)’ mendadak menjadi ‘bukan siapa-siapa (nothing)’. Ya, dengan kata lain, mungkin Anda adalah Generasi X atau Y dan saat ini masih cukup perkasa, tapi ketahuilah bahwa platform bertanding Anda, ekosistem dunia saat ini sudah berganti ke miliknya para Milenial. Bukan Milenial yang harus mengikuti gaya jadul tsb, tapi justru para ‘dinosaurus’ ini harus beradaptasi dan menjadi relevan dengan arena bertanding yang baru ini. ‘Relevan’ adalah kata kunci-nya. Anda tidak relevan dengan ekosistem sekarang, seberapa besarpun Anda, pasti punah.

Jika dahulu seorang Pendeta cukup mempersiapkan materi kotbah untuk hari Minggu. Saat ini ia dituntut untuk dapat mengerti tentang pemberdayaan ekonomi jemaat, bagaimana mencari cuan yang benar. Ia juga harus mengerti tentang menjaga pola makan dan kesehatan untuk disampaikan kepada jemaat yang berumur agar tidak kolesterol atau darah tinggi. Ia harus mengerti sedikit dunia medis. Jika ia berhadapan dengan anak muda, ia harus mengerti tentang apa itu mental health, crypto, metaverse, dsb. Bertemu dengan jemaat tua, ia harus tahu tentang ketakutan dan kegetiran hati mereka, merasa ditinggalkan anak yang sudah menikah, rindu mereka berkunjung pulang, kuatir akan sakit akibat degeneratif, rasa sepi, dsb. Ilmu tentang Tuhan dan doa saja ternyata kurang, jemaat butuh sesuatu yang riil. Begitu pula karyawan, jika dahulu tiap-tiap pekerjaan punya pos orang-nya sendiri, akibat pandemi ini, efisiensi terjadi. Yang awalnya hanya teller, sekarang merangkap jadi customer service, jadi marketing KPR, jadi tim survei, dsb. Multitasking dan pengembangan diri adalah survival mode-nya. Semua manusia harus meng-upgrade diri, tidak ada di zona nyamannya. Mereka harus membuka wawasan diri, mau diajar dan belajar. Tidak merasa sudah mentok dan cukup pintar. Tidak ada ruang untuk berpuas diri apalagi sombong. Mereka harus bergerak menuju kemaksimalan-nya. Dan itulah smart society yang akan hidup dalam smart city. Apakah Anda siap?

Inilah kunci-nya: semakin sulit tantangan di depan, semakin berat beban yang harus dipikul – semakin kita harus sadar bahwa kita tidak dapat hidup sendirian, semakin kita sadar bahwa kita membutuhkan orang lain. Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Ini adalah masa dimana 1 gajah ‘pecah’ menjadi ‘semut-semut’ kecil yang banyak dan heran-nya memang gajah kalah lawan semut (seperti permainan adu suit). Telah tiba saatnya, gereja tidak perlu berkompetisi dengan gereja lain tapi kolaborasi. Apa itu rebutan jemaat? Apa itu simpatisan? Apa itu jemaat sah? Denominasi tidak perlu merasa diri paling benar, paling alkitabiah, sebab nantinya pun gereja akan menjadi gereja tanpa tembok, tanpa denominasi, tapi satu – seperti doa Tuhan Yesus di Yohanes 17:21.

Akan tiba saatnya orang-orang menjadi paham bahwa saya memang kuat di bidang tertentu tapi lemah di bidang lain maka saya perlu kolaborasi. Saya kuat di bidang teologi, tapi lemah di entepreneurship, saya perlu para pengusaha untuk mengentaskan masalah kesenjangan sosial di gereja. Atau saya hidup terlalu duniawi dan seringkali kehilangan arah dan sesat di jalan, saya butuh bimbingan kaum rohaniawan untuk mengajar dan membimbing. Ya, smart society adalah ketika manusia yang satu dengan manusia yang lain terkoneksi dengan sangat dalam, setiap orang memiliki peran dan fungsi uniknya untuk dibawa ke komunitas dan dijadikan kekayaan bersama. Jadilah tajam, jadilah team player, jadilah rendah hati dan jadilah relevan. Kita semua bukan siapa-siapa, tapi karena ada Tuhan yang besar di dalam kita, maka kita pun pasti dijadikan-Nya pembesar-pembesar-Nya yang bisa mengalahkan jaman dan menjadi pembuka berkat seperti Yusuf di Mesir yang menolong mereka yang kepayahan karena kekeringan panjang. Kolaborasi pasti menang. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *