Keluargaku Tidak Tergoncangkan

(Lukas 6 : 46-49, Matius 12 : 25)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apa itu “keluarga”?
  2. Hal apa saja yang dapat menggoncangkan kehidupan kita berkeluarga?
  3. Bagaimana cara Anda menyikapinya potensi goncangan tsb selama ini?
  4. Apa yang terjadi ketika sebuah keluarga porak poranda karena goncangan tsb? Pihak siapakah yang paling diuntungkan? Pihak siapakah yang paling dirugikan?

Renungan Firman (10 menit):

Seringkali Bulan Keluarga menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian jemaat. Saat jemaat lain tampak hadir beribadah sebagai satu kesatuan keluarga utuh, yang terdiri dari ayah, ibu serta anak-anak, dimana suami-istri tampak harmonis serta hubungan orangtua-anak yang cair dan hangat — hal tsb justru menjadi intimidasi. “Kenapa ya keluargaku tidak seperti mereka? Salahku dimana? Aku pikir aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi sepertinya kegagalan semata yang kutemui, aku lelah

Tuhan, sampai kapan suamiku terus kecantol wewe gombel begitu? Sudah banyak kali Bulan Keluarga Juli dilalui, pengajaran kotbah tentang Keluarga Kristen pun telah banyak kudengar. Satu sisi, saya percaya suatu hari nanti pemulihan pasti terjadi atas keluargaku, tapi di sisi sebaliknya, aku merasa justru segala sesuatu bergerak semakin mundur, semakin kacau dan bahkan aku kehilangan komunikasi. Tuhan, tolong aku! Aku kehilangan dasar untuk aku percaya dan berharap. Ini semua karena aku kurang cantik, kurang cakap menjadi istri, kurang menarik.”

Sesungguhnya tidak ada satu pihak manapun yang ketika memulai pernikahan berpikir untuk rumah tangga-nya akan kandas di tengah jalan bahkan bercerai. Bahkan sebagian besar pasangan tsb sebelum melakukan pernikahan telah dibekali bimbingan rohani mengenai dasar-dasar kehidupan berkeluarga Kristen dan bahkan menerima pemberkatan di altar kudus-Nya. Ya, mungkin tidak semua pernikahan dimulai dengan mulus, ada yang married by accident karena sudah terjadi kehamilan, ada yang karena tuntutan lingkungan, karena dijodohkan, dsb. Masing-masing kita memulai pernikahan dengan ceritanya sendiri, yang asalkan mau, semua cerita di awal tsb dapat dijadikan alasan ketika satu atau kedua pihak kelak ingin berpisah. “Ya, dulu kami menikah terburu-buru, saya belum mengenal latar belakangnya secara mendalam” “Ya, pernikahan kami adalah pernikahan yang dipaksakan karena keburu indent anak” “Ya, saya terlalu muda saat itu, dipikir makan cinta doank kenyang” “Ya, kami begini karena ortunya dia selalu merecoki rumah tangga kami” “Dia yang salah, aku yang benar” “Aku begini karena begitu” “Seandainya tidak begini, maka tidak akan begitu” — semua adalah kalimat pembenaran yang mana jika hal tsb dihadapkan ke pengadilan agama, kita mungkin akan mendapat pembelaan dan 100% dikuatkan untuk melakukan perceraian. “Ya, ini jalan terbaik untuk masing-masing pihak. Biarlah ini menjadi salib-ku dengan Tuhan.” Dan akhirnya timbul rasa bersalah, minder, malu, ter-intimidasi, tidak plong untuk bertemu Tuhan lagi (emoji menangis).

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Mengapa Anda menikah? Carilah dari sekian banyak alasan, satu hal yang paling hakiki: mengapa saya menikah?
  2. Apa dasar pernikahan Anda? Apakah pasangan Anda menjawab senada?
  3. Masihkah ada rasa “cinta” yang membuat Anda rela mengumpulkan dana selama bertahun-tahun, banting tulang, kerja keras, tidak kenal lelah, demi bisa menikahi-nya? Berganti jadi apakah rasa “cinta” tsb?
  4. Seandainya segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan bahkan segalanya berjalan mundur, hal apakah yang akan Anda lakukan?

Kesimpulan (25 menit)

Suatu kali telpon berdering “Pak, anak Bapak tertangkap sedang mengkonsumsi narkoba. Saat ini dia sedang dalam perjalanan menuju kantor polisi untuk dibuatkan BAP. Cepat, pak. Ajukan perdamaian dengan polisi. Mereka mau bebasin anak Bapak asalkan Bapak transfer 50 juta ke rekening *** !” (terdengar teriak samar “papa, tolong, pa. Pa maafin adek ya. Cepet bebasin, pa. Adek ga mau ditahan). Efek dramatisasinya mantap. Bagi orangtua yang memiliki hubungan baik dengan anak-nya, dia akan layani santai. “O, gitu ya? Masa sich anak saya narkoba. Coba tanya nama dia siapa? Sini handphone-nya kasih ke dia, saya mo ngomong langsung”. Buat yang sedang beruntung, modus tsb tidak kena sebab anaknya masih kecil, atau memang saat itu anaknya sedang ada di sebelahnya. Tapi untuk orangtua yang renggang hubungan-nya, hal tsb akan menimbulkan panik dan tanpa sadar, ia masuk dalam alur penipuan tsb. Apa intinya? Intinya: dalam keadaan tenang pun, goncangan bisa terjadi. Ia dapat masuk kapan saja, di saat kita siap maupun tidak siap. Kita semua tidak di-design untuk anti goncangan, tidak ada semacam “alat peredam getaran” seperti fungsi efek tripod pada kamera, yang mampu mem-filter goncangan masuk menjadi mendekati nol. No! Kita tidak memiliki “shock resistence” alamiah semacam itu. Semua mesti dibangun dan masalah fondasi adalah faktor penting-nya. Batu yang solid ketika dibentur, ditabrak, dipukul, digilas — ia justru semakin solid. Tapi gelas kaca yang rapuh, ketika diberikan perlakuan yang sama, ia seketika itu juga pecah. Kualitas dasar penyusunnya lah yang menjadi pembeda.

Berbicara pribadi lepas pribadi itu jauh lebih sederhana ketimbang konteks keluarga. Sebab keluarga ini sifatnya berjamaah, melibatkan lebih dari satu pihak. Ok, satu pihak ia batu solid, tapi jika partner-nya gelas kaca bagaimana? Apalagi ditambah dengan kehadiran anak. Atau mungkin suami istri sudah batu solid, tapi anak kita masih rentan, masih sangat muda dan kita nyaris tidak punya waktu memperhatikan-nya karena kita pun harus bekerja cari nafkah, mengurus rumah tangga, dsb. “Ya, selamat menikmati hidup berumah tangga ya. Kalian nikmatin sebaik-baiknya masa honeymoon ini, masa-masa sebelum punya anak” – adalah nasihat para senior yang sudah mengalami carut marut pernikahan pada pasangan pengantin baru.

Saudaraku, mau dibolak balik, ditekuk kanan kiri, manuver atas bawah. Namanya hubungan antar manusia bagaimana pun baiknya, pasti suatu saat terjadi “bom waktu” yang meledak. Mengapa? Karena kita semua manusia, gudangnya dosa dan khilaf. Tidak ada seorang pun yang dapat konsisten baik, konsisten setia, konsisten “menyala” api rohani-nya. Kita semua rentan dan kita semua perlu “Konsistensi” dari pihak luar, pihak yang jauh lebih kuat dari kita. Kita perlu Dia yang stabil setia, stabil kasih, stabil memberkati. Satu keluarga berisikan 2 orang saja sudah sering selisih paham, apalagi ditambah kehadiran anak-anak atau orangtua kedua pihak. Isinya terdiri dari sesama manusia berdosa, dan orang berdosa kolaborasi dengan orang berdosa lain, hasilnya pasti benang kusut.

Akan jadi berbeda ketika keluarga ini mengundang sesuatu yang ilahi, yaitu Allah itu sendiri. Ia yang stabil itu me-raja di rumah tangga-nya, menjadi wasit yang di tengah bahkan menjadi hakim yang kuat, menghajar yang mulai sesat dan meneguhkan yang sedang goyah dan memulihkan yang luka. Suami aneh-aneh, tinggal buat laporan ke Wasit atau Hakim tsb. Istri lupa daratan, juga tinggal buat laporan. Tugasnya kita sebagai suami atau istri adalah menjalankan peran sesuai SOP. Suami harus mengasihi istri seperti dirinya sendiri, istri menghormati suami seperti menghormati Kristus. Orangtua mendidik dan mengasihi anak, tidak buat luka di hatinya, anak patuh dan taat juga respek pada orangtua. Jika ada SOP yang dilanggar, bagian kita lapor pada Wasit sembari terus mengasihi mereka karena kita pun tidak sempurna. Biar nanti TUHAN yang berperkara terhadap individu tsb sambil kita setia dan percaya — pemulihan itu ada. Goncangan tidak di-design untuk menghancurkan kita, tapi justru untuk menjadikan kita semakin solid, semakin terikat satu dengan yang lain sampai tidak ada celah terbuka untuk siapapun masuk dan merusak. “Keluarga kita adalah keluarga yang tidak tergoncangkan”, bukan karena kita semua orang-orang yang cakap dan telah sempurna, tapi semata-mata karena ada Dia yang tidak tergoncangkan mau hadir dan bertahta di tengah-tengah kita. Dia adalah Pengikat dan Penopang keluarga kita. Ia yang kokoh mau menjadi fondasi keluarga kita, sehingga kita pun menjadi kokoh. Tanpa Dia, asalkan ada angin sedikit saja, rumah kita pasti rubuh. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *