Bahan Komsel

Indonesia bagi Kemuliaan TUHAN (Wahyu 7 : 9 – 12)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Menurut Anda, apa kerinduan TUHAN atas Indonesia ini?
  2. Apa peran yang orang percaya perlu lakukan bagi negeri Indonesia ini?
  3. Mungkinkah Indonesia penuh dengan kemuliaan Allah terjadi?
  4. Bisakah pertobatan jiwa-jiwa yang selama ini terus didoakan oleh Gereja Tuhan terjadi atas Indonesia dan kita dengan mata sendiri melihat momentum-nya tsb?

Renungan Firman (15 menit):

Menurut sejarah, Kekristenan sudah hadir di Indonesia sejak abad ke-17 Masehi dan sejak saat itu Kekristenan terus berkembang hingga sekarang. Saat ini ada sekitar 23.5 jutaan penduduk Indonesia yang beragama Kristen (16.5 juta Protestan dan 8 juta Katolik) berbanding dengan 230-an juta penduduk mayoritas Muslim. Artinya: ada 1 orang Kristen di setiap 10 orang Muslim, jumlah yang sesungguhnya lebih dari cukup untuk mengadakan perubahan.

Telah ada banyak doa dinaikkan, KKR diadakan, kotbah dan pemberitaan Injil diperdengarkan mengharapkan terjadi “sesuatu yang besar dan mengubahkan negeri” dan “hanya namaMu Tuhan ditinggikan atas seluruh bumi”. Namun, tahun berganti tahun, bahkan Indonesia sudah berulang tahun hingga yang ke-76, spirit “Indonesia bagi Kemuliaan TUHAN” dirasa seperti angin surga atau sebuah utopia. Ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang terjadi selama hampir 2 tahun ini, harapan setinggi langit bahwa “2030 Indonesia masuk 5 besar ekonomi terkuat dunia” justru dipukul balik dengan turunnya peringkat Indonesia menjadi Negara Ber-penghasilan Menengah Bawah, daya beli yang menurun, tingkat pengangguran yang semakin meningkat. Dimanakah janji pemulihanNya? Rencana kemuliaanNya?

Ya, peristiwa yang sama pun pernah dialami oleh bangsa Israel. Sempat menikmati masa kejayaan di masa lampau, puncaknya pada jaman Raja Salomo, kemudian terjadi penurunan kejayaan hingga akhirnya terbuang sepenuhnya ke Kerajaan Babel. Tapi satu yang pasti, Israel ada di hati Allah dan Allah punya rencana atas bangsa tersebut. Mereka memiliki covenant / perjanjian dari leluhur; antara Allah dengan Abraham serta Allah dengan Daud. Allah terus mengutus nabi-nabi-Nya untuk menubuatkan masa-masa pemulihan bagi Israel bahkan harapan itu akhirnya membuncah pada masa hadirnya Yesus Kristus – Immanuel yang digadang-gadang akan membawa pemulihan bahkan masa keemasan bagi bangsa Israel. Semakin bangsa mereka dihimpit habis-habisan oleh Kekaisaran Romawi, semakin kuat juga dorongan keinginan hadirnya “Kemuliaan TUHAN atas Israel” terjadi.

Tunggu punya tunggu, bukan pemulihan seperti pemikiran mereka yang terjadi, justru mereka semakin terhimpit bahkan kemudian di-kambinghitam-kan atas pembakaran kota Roma oleh Nero hingga akhirnya pada tahun 70 Masehi, Bait Allah pun diratatanahkan. Hilang sudah kejayaan mereka, bahkan hilang pula pusat spiritualitas mereka. Keberadaan Allah dalam BaitNya di Yerusalem pun dipertanyakan: benarkah Ia sudah meninggalkan Israel? Kemanakah rencana pemulihanNya? Apakah Allah sudah melupakan perjanjian-Nya?

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apakah Anda masih percaya “Indonesia bagi kemuliaan TUHAN” pasti digenapi?
  2. Kapan waktu-nya? Di generasi kita atau masih ‘melemparkannya’ lagi ke generasi-generasi yang akan datang?
  3. Cara kerja seperti apakah mungkin luput dari perhatian kita, padahal sesungguhnya Allah justru sedang bekerja besar-besaran mewujudkan “Indonesia bagi kemuliaan-Nya”?
  4. Apakah sekedar berdoa, berkotbah dan berwacana saja cukup? Atau perlu ada action yang lain?

Kesimpulan (20 menit):

Jika Anda pernah mengamati ceremony pembukaan Olimpiade, semisal Beijing 2008 dimana setiap negara kontestan mengirimkan wakil terbaiknya. Biasanya mereka datang dengan segala atribut khas negara-nya berparade mengitari stadion dengan penuh kebanggaan, seolah-olah ketika nama negaranya disebutkan: “Japan” Maka hadirlah orang Jepang dengan etnik kelokalan-nya. “Brazil” Maka hadir pula karakter wajah, warna kulit serta bahasa yang berbeda lengkap dengan aksesoris lokal mereka pula. Lalu “Germany” maka hadirlah orang-orang berwajah kaku, tinggi besar, berkulit pucat, juga lengkap dengan segala atribut kedaearahannya. Fantastis bukan? Sebanyak negara yang tampil, maka sebanyak itu pula keragaman yang ditampilkan. Tidak ada satupun yang duplikat, atau satupun yang tidak memiliki keunikan masing-masing. Semua luar biasa dan menyatakan Allah yang kreatif.

Sebuah momen yang spektakuler juga sesungguhnya sedang dinyatakan dalam Wahyu 7:9-12: suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas tahta dan bagi Anak Domba! Puji-pijian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita selama-lamanya! Amin!

Dapatkah Anda membayang betapa berbangga-nya Allah di tahta sana ketika IA melihat 1340 suku bangsa dengan 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia — ketika nama suku bangsanya dipanggil, mereka hadir dan memuliakan Allah dengan bahasa dan kekhasan mereka masing-masing? Pertanyaannya: Dengan cara bagaimana suku-suku bangsa ini dimenangkan bagi Kristus? Apakah kita perlu terus menunggu Allah melakukan sesuatu yang besar, mengadakan tanda-tanda langit terlebih dahulu atau justru kita terlibat aktif mewujudkannya?

Ketika TUHAN hendak membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir melalui hamba-Nya Musa, terjadi momen yang ‘menyebalkan’. Bukannya Allah ‘simsalabim’ meluluhkan hati Firaun dan orang Mesir-nya, justru sebaliknya: Allah membuat mereka tambah dibenci dan dianiaya (Keluaran 5:7-24). Hingga Keluaran 6:8 mencatat bahwa mereka tidak mendengarkan perkataan Musa karena sangat putus asa dan karena perbudakan yang berat itu. Ya, TUHAN bekerja dengan caraNya sendiri, dan seringkali tidak seperti yang dibayangkan oleh kita.

Jemaat mula-mula justru bisa menangkap cara kerja TUHAN. Di tengah keputusasaan orang Yahudi saat itu di bawah penjajahan Romawi, orang-orang percaya justru berdoa meminta sesuatu yang berbeda, “ketimbang berdoa meminta TUHAN turun tangan sendiri melakukan sesuatu yang besar” mereka justru berdoa “dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hambaMu keberanian untuk memberitakan FirmanMu. Ulurkanlah tanganMu untuk menyembuhkan orang, dan adakanlah tanda-tanda dan mujizat-mujizat oleh nama Yesus, hambaMu yang kudus (Kis 4:29-31)”. Mereka tidak meminta tangan Tuhan bergerak dan bekerja, justru merekalah tangan Tuhan itu sendiri. Mereka juga tidak meminta mujizat dan tanda dari langit, justru merekalah mujizat dan tanda itu sendiri. Mereka terlibat aktif dan tidak pasif. Berdoa untuk pemimpin negeri itu baik, tapi terlebih baik adalah berdoa untuk kita pun bisa diangkat naik oleh TUHAN menempati posisi-posisi strategis di negeri ini untuk menjadi alat TUHAN itu sendiri. Kiranya TUHAN merahmati. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *