Mengasihi Allah dan Sesama (Matius 22 : 37 – 40)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Bagaimana cara kita mengasihi Allah? Mengapa kita dapat mengasihi Dia?
  2. Bagaimana cara kita mengasihi sesama kita? Mengapa kita dapat mengasihi mereka?
  3. Dari mana datangnya kasih itu dalam pribadi kita?
  4. Bila seseorang kekurangan kasih, apa yang harus dia lakukan?

Renungan Firman (15 menit):

Suatu kali ada sebuah kuisioner dibagikan kepada sekelompok pria yang telah berkeluarga. Kuisioner itu dimulai dengan “tuliskan 10 nama orang yang paling kamu kasihi”. Lantas semua peserta mulai sibuk menulis 10 nama, dari teman komsel hingga teman touring semua dimasukkan. “Ok. Sekarang dari 10 nama, coret 5 nama yang Anda paling bisa kurangi kadar kasih-nya”. Maka mulailah beberapa nama teman dan kolega tersisihkan, menyisakan nama-nama ring 1nya saja. Dan pertanyaan terus berlanjut, “Sekarang pilih 3 nama saja ya”. Bisa ditebak bukan? Mayoritas jawaban tersisanya adalah: “istri”, “anak” dan “ibu kandung”. “Ayo, kita kerucutkan lagi jadi 2 nama ya”. Para pria tersebut mulai bingung memilih antara “anak” atau “ibu kandung” yang harus dicoret. Terakhir, ketika harus memilih 1 nama pamungkas yang paling ia kasihi, mayoritas yang tersisa adalah “istri”. Maka sebuah kesimpulan didapatkan: bahwa rata-rata pria di sana paling sayang (takut – red) sama “istri”-nya. Dan semua peserta riuh dengan tepuk tangan. Hore.

Tapi ada seorang pria menuliskan sesuatu yang berbeda. Ternyata dari sejak awal ia memasukkan namanya sendiri dalam 10 nama tsb, dan semakin dikurangi, bahkan hingga tinggal 1 nama pun, yang bertahan adalah nama dirinya sendiri. Sebuah “aha moment (pencerahan)” terjadi. Peserta yang lain mulai penasaran dan bertanya, “Kenapa, bro? Koq nama terakhirnya bukan nama istri lu, tapi diri lu sendiri?” Yang segera dibalas, “Kalian ini pernah mikir ngga? Suatu hari nanti, pasti orangtua kandung kita akan meninggalkan kita, pulang duluan ke surga. Anak-anak juga pasti akan meninggalkan kita dengan keluarga kecil dan barunya. Tinggal kita berdua dengan istri. Tapi bisa jadi kelak, istri kita pun akan lebih dulu berpulang meninggalkan kita. Yang tersisa tinggal aku dan diriku ini. Makanya, jika sedari sekarang, aku tidak mengasihi diriku sendiri dan merawat tubuhku, bahkan sampe mati muda, bagaimana aku bisa mengasihi orangtua, anak dan terlebih istri-ku? Makanya, dari sekian banyak orang yang ada di muka bumi ini, aku paling mengasihi diriku sendiri, supaya dengan demikian, ketika aku bisa terus sehat dan hidup, aku bisa mengasihi sekelilingku seperti aku mengasihi diriku sendiri.” Wow. Ciamik.  

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apa standar kita mengasihi orang lain?
  2. Bagaimana seseorang dapat mengasihi orang lain jika ia sendiri tidak tahu cara mengasihi dirinya sendiri?
  3. Apakah Anda mengasihi ‘dia’ yang Anda lihat setiap hari di depan cermin?
  4. Puaskah Anda dengan bentuk wajah, tinggi badan, warna rambut – segala sesuatu yang bawaan lahir, diciptakan spesial dan unik dari TUHAN? Atau Anda masih berharap bisa menjadi orang yang lain?

Kesimpulan (20 menit):

Sebuah album foto berisikan potret-potret lama penuh nostalgia – membawa kilatan memories tentang momen-momen ketika foto itu di-jepret-kan. Masa ketika kanak-kanak, ketika merayakan HUT, ketika ikutan lomba perayaan, dsb. ‘O, betapa aku mengenang masa-masa itu” – adalah respon umum dari mereka yang puas dengan kehidupan di masa lalunya. Namun hal berbeda dapat terjadi, “I wish foto dan memories masa itu dirobek dan dibakar dalam api” “I wish orang yang di foto itu tidak pernah hadir dalam hidupku. Pergi kau ke ujung dunia, dehidrasi di gurun sahara, hilang di segitiga bermuda, pergi ke luar angkasa, hipotermia di kutub utara, hilang di samudra antartika”. I wish dan I wish – adalah rintihan dalam hati yang penuh penyesalan dan tidak bisa berdamai dengan momen itu.

Ya, berbicara mengenai kasih kepada Allah juga kasih kepada sesama pastilah tidak terlepas dari kasih kepada diri sendiri. Bagaimana seseorang dapat mengasihi orang lain jika ia sendiri tidak tahu cara mengasihi dirinya sendiri? Bukankah Firman Tuhan berkata, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (ayat 39)”? Jika standar kita dalam mengasihi diri sendiri saja begitu rendah, bagaimana kita dapat memberikan standar kasih yang begitu tinggi kepada orang lain? Pastilah ukuran kasih kita pun mentok di maksimal-nya kita mengasihi diri kita sendiri.

Bagaimana pula seseorang dapat mengasihi dirinya sendiri jika ia pun tidak pernah merasa dikasihi Allah? Jika ia merasa segala yang Allah berikan kepadanya adalah salah dan tindakan pilih kasih? Ya, di bulan perdamaian GKMI ini pun, ternyata sesungguhnya kasih kepada Allah, kasih kepada diri sendiri, serta kasih kepada sesama manusia tidaklah dapat dipisahkan dari proses kita damai dengan Allah, damai dengan diri sendiri dan damai dengan sesama. Dan dari situ akan hadir love of God, love of self and love one another.

Ketika Adam jatuh dalam dosa, saat itu pula tatanan “segala sesuatunya sungguh amat baik” itu rubuh. Adam dan Hawa mulai saling menyalahkan, Kain membunuh Habel, dst. Manusia kehilangan elemen terpenting dalam dirinya, yaitu kasih. Seperti Te Fiti (mother earth) berubah menjadi Te Ka (iblis vulkanis) dalam film animasi Disney “Moana” karena kehilangan batu pounamu – jantung dewi. Dimana ia lantas digambarkan sebagai mahkluk berapi yang tidak pernah tenang dan selalu mengamuk. Demikian pula lah manusia yang kehilangan jantung “kasih” dan selalu hidup tidak tenang dan penuh amarah. Kemana pun ia pergi, pastilah ia menyebabkan luka pada sekelilingnya. Ia sendiri terluka, sekelilingnya pun terluka, akhirnya saling melukai. Diperlukan sebuah langkah berani untuk menerima fakta bahwa dalam dirinya ada masalah: citra diri yang rusak, gambar diri yang salah. Bahwa ia bukanlah manusia yang benar, melainkan penuh dosa dan corrupted (seperti file di komputer yang broken dan tidak bisa diakses baik). Ia perlu datang ke hadapan Allah dan berdamai denganNya. “Maaf TUHAN. Saya sadar saya sudah sangat jauh daripadaMu, bahkan membenciMu, tidak bisa menerima proses kejadian-ku yang tidak “indah dan cantik”, membenci masa lalu-ku yang “buruk dan kelam”. Tapi semakin saya jauh dariMu, semakin dalam saya terpuruk dan tidak ada solusi. Aku mau berdamai dengan-Mu. Aku tidak mengerti jalan-jalan hidupku yang lalu, tidak tahu juga mengapa Engkau menjadikan-ku begini, lahir di keluarga ini, suku seperti ini, dsb. Tapi tolong bantu aku reframing kehidupanku, melihat dari sudut Engkau memandang. Apapun yang telah terjadi, ajarku berkata, Tuhan itu baik dan Ia bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagiku

Ketika seseorang dapat berdamai dengan Allah, mengalami limpahan kasih-Nya yang deras bagaimana air terjun itu maka ia pun akan dapat berdamai dengan diri sendiri dan mulai mengasihi dirinya sendiri dan dari dasar itulah, ia mulai dapat berdamai dengan orang lain dan mengasihi orang lain seperti ia mengasihi dirinya sendiri. Pertanyaan terbesarnya adalah: Kapan mau berdamai dengan Allah. Mengasihi Dia juga mengasihi sesama? Kiranya Tuhan Yesus merahmati kita semua. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *