Pulang (Lukas 15 : 11 – 32)
Bahan Diskusi (15 menit):
- Di manakah “rumah” Anda?
- Apa arti “rumah” bagi Anda? Apa yang Anda rasakan ketika berada di rumah?
- Apa yang membuat tempat itu menjadi “home” bagi Anda?
- Adakah saat ini Anda telah menemukan “rumah” Anda? Atau saat ini Anda sedang menjadi pelarian, jauh dari rumah?
Renungan Firman (10 menit):
Suatu kali seorang kawan menjelaskan arti deretan piala yang terpajang di toko-nya, “bro, ini mah piala hasil hobi-nya si papa. Dia seneng piara merpati pos balap, liat aja di atas rumah, kandang burung semua. Sebulan sekali dia pergi bareng temen-temennya ke Bali, Lombok, Sumbawa, dll. Sengaja bawa burung merpati-nya kesana cuma untuk dilepas. Nanti juara-nya adalah merpati yang duluan pulang ke kandang-nya” “Wuah. Ini burung berarti lebih sering naik pesawat daripada gw donk. Hobi orang kaya itu aneh-aneh aja. Mahal ya ini burung?” “Lumayan lah, bro. Kisaran 15-30 juta per ekor. Syukur-syukur kalo dia berhasil pulang, banyak juga yang hilang, entah dimakan predator udara atau kesasar ke kandang yang mirip.”
Ya, naluri untuk pulang sepertinya alamiah ada di sebagian besar mahkluk ciptaan. Burung merpati pos, penyu, anjing laut, paus, salmon seolah-olah memiliki settingan “GPS home” dalam sistem navigasi-nya. Sebagai contoh: setelah ikan salmon menghabiskan sebagian besar waktunya di laut lepas, di penghujung umurnya mereka akan secara natural kembali ke sungai tempat mereka dilahirkan untuk di sana mereka bertelur dan kemudian mati. Bahkan pepatah Jawa berkata, “Kebo mulilh menyang kandhange (sejauh-jauhnya seseorang pergi, akhirnya akan pulang ke kampung halamannya)”. Kita semua pasti rindu untuk pulang, rindu untuk punya tempat yang kita bisa beri nama “home”.
Begitu pun dalam perumpamaan Anak yang hilang ini, si bungsu yang awalnya ingin merantau jauh meninggalkan rumah Bapa-nya, pada pertengahan perjalanan, ketika segala sesuatu tidak senyaman suasana rumah-nya, ia mulai rindu pulang dan syukur ia memilih untuk pulang apapun konsekuensi-nya. Dan yang tidak kalah penting adalah cara “rumah” ini menerima kembali diri-nya. Ketika keinginan untuk “pulang” diresponi dengan penerimaan tanpa syarat dari pihak orang rumah maka kondisi “home” itu pun segera tercipta. Pemulihan segera terjadi.
Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):
- Kemana Anda pulang setelah melakukan banyak aktifitas di luaran sana? Apakah Anda nyaman berada di “rumah”?
- Apakah ada anggota keluarga Anda yang lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah bahkan bisa tidak pulang berhari-hari? Kira-kira apa penyebabnya?
- Bagaimana keadaan rumah yang ideal itu menurut Anda?
- Siapakah yang bertanggungjawab menciptakan suasana “home” di rumah Anda?
Kesimpulan (25 menit)
On eternal patrol (dalam patroli abadi) — sebuah istilah yang diberikan kepada awak kapal selam KRI Nanggala 402 yang tenggelam beberapa tahun lalu. Atau Ghost Ship (Kapal Hantu) – sebuah cerita rakyat tentang kapal hantu yang seringkali terlihat oleh para nelayan sedang ‘gentayangan’ di laut lepas karena semua awak kapalnya meninggal dalam kapal dan tidak menemukan pelabuhan untuk pulang. Mereka mengembara dari laut ke laut dan tidak dapat beristirahat dengan tenang sebelum menemukan pelabuhan untuk jiwa mereka. Mereka pun rindu pulang tapi tidak bisa.
Di kota-kota besar dikenal istilah “pejuang commuter-line”, yaitu mereka yang pergi pagi, pulang malam. Pagi berangkat dari daerah penyangga, lantas bekerja 8 jam di kota besar, dan sore-nya kembali pulang memakai commuter-line untuk tiba di rumah sudah malam. Dan itu berulang terus setiap harinya. Meskipun itu terdengar melelahkan, tapi setidak-tidaknya mereka punya tempat tujuan dan juga punya tempat untuk pulang. Sehingga walaupun mereka harus pulang dalam keadaan lelah, tapi mereka punya rumah untuk kembali men-charge jiwa mereka setelah seharian penuh beraktifitas. Ya, seperti smartphone. Seberapa canggih dan mahal pun ia, tetap suatu saat ia akan low bat dan butuh di-charge, butuh diisi ulang baterai-nya. Ia butuh terkoneksi dengan sumber listrik untuk kapasitor-nya dipenuhi kembali.
Betapa bahagia-nya seorang suami dan ayah yang setelah sibuk bekerja di luar kota mencari nafkah bagi keluarga-nya, setiap Jumat sore ketika ditanya kolega-nya, “pulang kemana, bro? Masih macet jam segini, nanti aja agak malaman baru jalan pulang” dijawab “balik ke Bandung, bro. Ada istri dan anak yang uda nunggu. Gpp macet-macetan juga, semakin cepat ada di rumah, semakin baik. Sampai ketemu Senin nti ya, bro.” Sama hal-nya dengan pemuda kuliahan yang setelah menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya, ia ingat untuk pulang ke rumah, bertemu orang tua dan keluarganya, dipenuhi kembali kebutuhan dia akan penerimaan dan kasih sayang keluarga. Ia tidak menjadi pemuda yang keluyuran di tengah malam, ‘gentayangan’ dari kost ke kost teman lainnya karena merasa kesepian dan bosan di rumah. Atau seorang ibu dan istri yang begitu antusias menciptakan rumah-nya menjadi tempat yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya. Ia tahu bahwa suasana rumah-nya sangat penting bagi kesejahteraan jiwa penghuni-nya dan ia dengan sekuat tenaga menjadi tiang doa rumah-nya, berdoa bagi suami dan anak-anaknya agar Tuhan selalu menjaga dan memberkati seisi anggota keluarganya.
Bandingkan dengan seorang suami yang terbagi ‘rumah’-nya karena poligami atau selingkuh. Demi asas keadilan, ia harus membagi segalanya sama rata, termasuk waktu ‘pulang’nya. Seminggu ia ada di rumah istri tua-nya, nanti seminggu kemudian ia melipir ke tempat istri muda-nya. Terus bergantian setiap minggu-nya bagaikan bola yang dipingpong kesana kemari. Sungguh ia sedang melelahkan dirinya sendiri. Awalnya ia berharap di tempat lain, ia dapat menemukan “home”, sesuatu yang tidak ia temukan di rumah-nya sendiri, tapi ternyata justru ia menjadi semakin lelah dan kosong. Bukan “home” yang didapat, melainkan kepenatan.
Jemaat yang dikasihi Tuhan. Panggilan untuk “pulang ke rumah” adalah naluri setiap kita. Selama masih ada tempat yang dituju untuk baterai kita di-charge ulang, itu adalah sebuah keberuntungan. Dan bagi kaum “on eternal patrol” yang terus gentayangan di luaran sana mencari pelabuhan jiwa-nya, ketahuilah bahwa institusi keluarga itu sakral dan diprakasai oleh Allah sendiri, di situlah letak pin point “home” Anda. Di luar sana, Anda mungkin harus makan bersama babi, berjibaku banting tulang cari nafkah, tapi selama Anda bisa membawa pulang berkat jerih lelah tsb untuk anak istri, itu adalah sebuah kebahagiaan. Sebaliknya, mungkin saat ini Anda tampak berfoya-foya dan senang jauh dari rumah seperti si bungsu, sadarilah bahwa tidak ada tempat yang lebih indah selain “home” dan kiranya ini menjadi panggilan untuk Anda pulang dan jadikan keluarga Anda sebagai “home” berapapun harga yang harus Anda bayar. TUHAN memberkati. Amin.