Tentara-tentara-Nya Allah (2 Timotius 2 : 3 – 4)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Masa-masa seperti apakah yang sedang Anda alami saat ini? Coba sharing-kan pergumulan Anda kepada anggota komsel yang lain!
  2. Apa yang diperlukan di masa-masa seperti ini? Masihkah ada hope (harapan) tentang hari esok?
  3. Bagaimana kondisi iman rohani Anda saat ini? Menyala terang, redup, padam?
  4. Menurut Anda: apakah ini cobaan, ujian atau pelatihan? Apakah Allah mencobai manusia?

Renungan Firman (10 menit):

JIka kita bertanya kepada generasi baby boomer (yang lahir tahun 1946 – 1964), yaitu mereka yang sekarang berusia 60 tahun ke atas dan telah mengalami banyak kejadian hidup, seperti krisis ekonomi tahun 60an, krisis Perang Teluk, krisis moneter 1998: “Opung, selama 70 tahun Opung hidup sampai sekarang ini, kira-kira ada yang lebih parah dampaknya daripada Pandemi Covid-19 dan krisis Ukraina-Rusia kayak sekarang ga?” Dan umumnya mereka justru akan menjawab dengan iba, “Masa-masa seperti sekarang ini belum pernah dialami oleh siapapun juga, ini kejadian luar biasa. Mungkin dulu pernah ada kejadian yang mirip, tapi itu sebelum jaman Opung lahir. Opung justru kasihan sama generasi kalian, kalo Opung sich uda tua, uda puas bahkan sedikit letih dengan hidup, tapi kalian? Hidup kalian masih panjang tapi udah diperhadapkan dengan rentetan ‘musibah’ begini. Dikira pandemi uda mau berakhir, eh sekarang malah dikasih krisis ekonomi, krisis pangan dan inflasi gegara perang Rusia-Ukraina. Ini efeknya bakalan panjang. Bisnis banyak yang bangkrut, karyawan banyak di-PHK, lapangan kerja terbatas, persaingan begitu ketat. Belum lagi biaya kebutuhan hidup yang serba tinggi. Dulu jaman Opung muda, sejelek-jeleknya orang berusaha, minimal bisa beli rumah meski sepetak, juga bisa Opung doank yang kerja. Sekarang suami istri bekerja pun masih kurang. Masa-masa sekarang ini adalah masa yang paling sukar menurut Opung”. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani berkata, “ancaman masyarakat bergeser dari pandemi ke harga pangan”. Yang secara ringkas dapat disimpulkan: kesusahan ini belum akan berakhir, masih ada chapter berikutnya, yang entah tambah baik atau tambah buruk.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Siapkah Anda melewati segala rasa (pahit, asem, asin, pedas, manis) yang kehidupan berikan? Kualitas apakah yang jadi pembeda?
  2. Apa maksud Tuhan atas kejadian yang kita alami setiap hari-nya?
  3. Bagaimana seharusnya anak-anak TUHAN bersikap di masa-masa seperti ini?
  4. Jika saat ini dunia terbagi menjadi orang yang kehilangan iman dan orang yang menemukan iman. Di manakah posisi Anda sekarang?

Kesimpulan (25 menit)

Pada 24 Februari 2022 lalu ketika Rusia melancarkan operasi militer berskala besar, terjadilah pemberlakuan darurat militer di Ukraina dimana semua pria sipil berusia 18-60 tahun dilarang meninggalkan Ukraina dan wajib menjadi komponen cadangan militer dan berperang bagi negara-nya. Bayangkan pria, warga sipil, tidak terlatih perang, hanya karena keadaan, ‘diciduk dari tengah keluarganya’ diberi senjata seadanya, dikirim ke medan perang, bertaruh hidup mati melawan kekuatan militer musuh yang sedemikian besar, tanpa tahu apakah besok masih bisa bertemu keluarganya atau tidak. Dan hal tsb membuat banyak dari mereka melarikan diri ke perbatasan berusaha menghindar. Mereka tidak siap perang saat harus berperang.

Sebaliknya, berabad-abad sebelumnya ketika terjadi perang sipil di AS, justru para pemuda mereka begitu antusias menjadi sukarelawan perang. Meski tidak mendapat ijin orangtua, mereka bahkan coba menyogok pihak otoritas untuk mengijinkan nama mereka tercantum dalam daftar orang yang akan dikirim ke medan perang. Sebuah daftar nama ‘one way ticket’ dimana mereka bisa pergi, tapi belum tentu kembali. Masuk dalam peperangan penuh risiko, dengan nyawa menjadi taruhan-nya. Demi patriotisme terhadap tanah air, mereka terus berjuang sampai tumpah darah penghabisan. Ada pergeseran yang nyata dalam hal ‘daya juang’ antara pria-pria jaman dahulu dengan pria-pria jaman now dalam menghadapi peperangan. Jika one way ticket itu dahulu diperebutkan, sekarang sebisa mungkin dihindari.

Bukankah hal yang sama terjadi dalam hal kekristenan? Dahulu Gereja mula-mula serta para rasul — meskipun ada ancaman pedang, penjara, hukuman mati, binatang buas adalah makanan sehari-hari — mereka justru semakin berkobar-kobar berjuang bagi kemajuan Kerajaan Allah. Gereja adalah Kapal Perang untuk mencetak orang-orang biasa, yang tadinya kalah terhadap dosa dan kehidupan menjadi orang-orang ‘berbahaya’, bersenjatakan lengkap dan siap sedia kapan pun menghancurkan setiap kuasa ‘musuh’ / si jahat ditemui-nya. Bagi mereka, percaya Tuhan Yesus adalah one way ticket, sekali mereka nyemplung, mereka tidak berpikir untuk kembali ke kehidupan lama, mereka tahu hidup adalah peperangan dan mereka menempa diri setiap hari bertanding dalam medan pertempuran menjadi prajurit-prajurit bermental tangguh dan lebih dari pemenang. Masalah bagi mereka bukan untuk melemahkan iman percaya, tapi justru sebagai faith booster, pendorong iman. Mereka tidak berusaha mengejar kenyamanan, tapi justru mencari pertumbuhan. Ya, seharusnya komitmen mengikut TUHAN adalah sebuah one way ticket – sekali kita setuju menyerahkan hidup kita kepada Allah, apapun rasa kehidupan yang diberikan dunia kepada kita, kita tidak akan berbantah, kita akan kunyah dan telan, kita akan terus mengucap syukur dalam segala hal karena kita tahu bahwa God is in control. Itu semua adalah nutrisi untuk pertumbuhan iman kita. Tuhan tidak pernah iseng, Ia sedang melatih kita berperang, Ia sedang membuat kita bermental tangguh, lebih daripada pemenang. Gereja tidak seharusnya menjadi Kapal Pesiar yang meninabobokan jemaatnya dengan janji surga dan kenyamanan semu.

Perbedaan burung rajawali dan burung emprit adalah ketika melihat turbulensi angin badai. Burung emprit akan segera sembunyi di sarang menunggu badai reda, sementara burung rajawali akan mendekati turbulensi itu dan menjadikannya daya dorong untuk terbang lebih tinggi – melihat dunia dari posisi puncak, posisi para pemenang, bahkan lebih dari pemenang. Bagaimana dengan kita? Ketika gelombang krisis datang silih berganti, apakah kita akan memakai itu sebagai sarana membangun otot rohani kita bersama TUHAN atau justru menghancurkan iman percaya kita sampai tidak bersisa? Apakah deraan bertubi-tubi: pandemi, krisis pangan, krisis energi, krisis ekonomi, dll – membuat kita mentok sana sini atau justru membuat kita semakin berkata, “O, problems. Bring it on. Kamu boleh datang silih berganti, kamu boleh keliatan besar dan menyeramkan, tapi TUHAN-ku jauh lebih besar dari segala masalahku. Tatapan kasih dan janji setia pemeliharaan-Nya terus tertuju pada-ku melebihi tatapan seram-mu itu. Aku tidak takut. Aku ini prajurit-prajurit-Nya Allah. Kondisi damai, kondisi perang. Aku selalu siap sedia. Come on, God. Bergerak lah di dalam ku, kita takluklah badai dan bawa pembebasan bagi umat yang berharap dan percaya kepada-Mu”. Tuhan Yesus memberkati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *