Bahan Komsel

Otoritas Rohani (Kejadian 41 : 38 – 57)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apa tujuan awal Allah menempatkan manusia di bumi ini (Kejadian 1 : 28)?
  2. Apakah orang percaya boleh berkuasa, memiliki dominion dan teritori?
  3. Berkuasa terhadap apa: sesama manusia atau ciptaan yang lain selain manusia?
  4. Apa akibat ketiadaan peran manusia yang memiliki mandat ilahi tsb?

Renungan Firman (15 menit):

Pada awal penciptaan ketika Allah menjadikan manusia, Ia berfirman, “beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu (subdue it), berkuasalah (have dominion) atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kejadian 1 : 28). Ya, ada panggilan “to have dominion” yang Allah berikan pada manusia – sebuah panggilan untuk berkuasa dan mengusahakan bumi ini, memiliki otoritas ilahi atas segala makhluk ciptaan yang lain — menjadi wakil Allah di bumi ini. Allah memberikan mandat itu pada manusia, tapi manusia justru tertipu Iblis dan kehilangan posisi. Ketiadaan peran manusia yang berotoritas ilahi dan justru bertahtanya manusia daging membuat bumi mengerang dan mengeluh menantikan anak-anak Allah kembali dinyatakan (Roma 8 : 19).

Pada jaman Musa dahulu, Allah sungguh hadir memimpin umatNya baik melalui tiang awan dan tiang api, dan pada puncaknya adalah melalui peristiwa Gunung Sinai dimana hadirat Allah begitu dashyat dalam gemuruh dan kilat di gunung tsb (Keluaran 19 : 18 – 20) namun manusia menolak sistem theokratos (Allah memerintah manusia) tsb, mereka berkata pada Musa, “engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan, tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati (20 :19). Mereka menghendaki demoskratos (manusia memerintah manusia) yang bahkan terus merosot ketika memasuki jaman Samuel dimana mereka pun mulai meminta raja seperti bangsa sekeliling meski sudah diperingati akan segala risikonya (1 Samuel 8 : 6 – 22). Sejak saat itulah pemerintahan Allah tergantikan oleh pemerintahan manusia, Kerajaan Allah digantikan kerajaan-kerajaan manusia dan itu terus berlanjut sampai sekarang.

Allah menjadikan manusia sebagai mahkluk penyembah dimana manusia selalu memiliki dorongan untuk menyembah sesuatu yang dianggap layak memperoleh penghormatan dan pelayanannya — sesuatu yang seharusnya ditujukan kepada Allah saja. Namun ketika manusia menolak Allah, maka kekosongan posisi itu harus diisi oleh sesuatu yang lain, bisa berupa pohon besar, ilah dewa atau manusia yang lain. Disinilah power atau kekuasaan lantas menjadi daya tarik tersendiri. Banyak orang berebut untuk menggapai posisi tinggi guna memerintah sesamanya.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apa bentuk pencobaan Iblis terhadap Yesus tentang kekuasaan (Matius 4 : 1 – 11)? Bagaimana cara Yesus menang daripadanya?
  2. Mengapa orang percaya harus juga dapat menang terhadap godaan ‘tahta’ ini?
  3. Bagaimana cara memperoleh kekuasaan yang on track dan bukan shortcut?
  4. Apa dampak yang dihasilkan ketika ada anak Tuhan yang menemukan kembali mandat otoritas ilahi-nya bagi sekeliling?

Kesimpulan (20 menit):

Seorang sejarawan bernama Lord Acton berkata, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan absolut pasti korup sebesar-besarnya)”. Lagi sebuah pepatah berkata, “a fish rots from the head down (ikan itu busuk mulai dari kepala ke bawah). Kitab Raja-raja sungguh mencatatkan kecenderungan tsb dimana banyak raja-raja, orang yang dianggap lebih kompeten daripada sesamanya, awalnya humble beginning tapi begitu ia berhasil duduk di “kursi panas” kekuasaan, devil dalam hatinya perlahan mengambil alih tahta diri-nya dan memakannya hidup-hidup – menjadikannya pribadi yang otoritarian, suka mendapat penghormatan dari orang lain bahkan mengejarnya (lihatlah pribadi Haman yang mengharuskan setiap orang berlutut ketika ia berjalan lewat atau Raja Ahab yang tega membunuh Nabot demi mendapatkan kebunnya atau bahkan Raja Daud yang merancangkan pembunuhan Uria karena Batsyeba).

Manusia daging ketika diberikan power yang besar cenderung justru merusak ‘dalem’, dimana dirinya sendiri adalah korban terbesarnya. Ya, daging ini tidak pernah di-setting untuk dapat mengelola-nya. Dibutuhkan manusia rohani untuk dapat tetap ‘dingin’ duduk di kursi panas tsb – manusia yang telah mengalami banyak proses penanggulangan Tuhan, dilicin tandaskan oleh banyak gesekan dan benturan oleh setiap proses kehidupan namun berhasil keluar dari ‘dapur api pemurnian’ tsb dalam posisi menang. Manusia yang sadar bahwa jika ia ingin jadi terbesar, ia harus jadi pelayan semua orang – membantu orang lain mencapai kemaksimalan mereka masing-masing. Semakin ia besar, semakin ia habis akan ke-aku-annya. Yohanes Pembaptis adalah manusia besar, ia berkata, “Ia (Kristus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yohanes 3 : 30)”.

Yusuf pun tidak serta merta menjadi orang kedua di Mesir. Proses persiapan dan pematangan Allah terhadapnya sungguh sudah berjalan sejak ia masih sangat muda. Ditempa oleh pembuangan kakak-kakaknya, dijual sebagai budak di tanah asing, mengalami ketidakadilan hidup, suramnya penjara, dilupakan orang – namun satu yang pasti: emas tidak selamanya akan terus tersembunyi di bawah tanah, seseorang pasti akan datang menggalinya dan menaruh-nya di tempat semestinya. Ya, ketika wadahnya cukup besar, ketika fondasinya cukup kuat, ketika rangka bangunannya cukup kokoh, Allah pun tidak segan mempercayakan mandat ilahi-Nya. Yusuf diangkat Tuhan begitu tinggi, posisinya hampir setara Firaun dan terpenting adalah: rencana Allah untuk menyelamatkan bangsa Israel dapat tergenapi melalui Yusuf. Yusuf berkata, “memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar (Kejadian 50 : 20)”. Bahkan ketika kakak-kakaknya dengan rela hati meminta dijadikan budak-nya, Yusuf berkata, “janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah (ayat 19)?” Banyak orang suka playing God, menjadi Allah bagi sesamanya, tanpa sadar bahwa itu justru membahayakan dirinya.

Respect is earned not given, it is for those who deserve it, not for those who demand it (respek itu diperjuangkan, tidak diberikan. Respek itu untuk mereka yang layak mendapatkannya, bukan mereka yang memaksanya). Di jaman yang mengedepankan posisi dan jabatan, banyak orang menempuh jalan pintas menggapainya, bahkan terjadi pula di lingkungan rohani, partai politik, instansi, dsb. Kedagingan-nya mengharapkannya, tapi kapasitas rohaninya belum siap. Alhasil, ia seperti pohon tinggi yang mudah tumbang karena akarnya rentan. Semakin tinggi ia, semakin dekat kejatuhannya. Ya, otoritas ilahi diperoleh dari kepercayaan Allah kepada mereka yang telah memiliki kapasitas meng-handle-nya. Jadi ketimbang berusaha menggunakan cakar kita meraihnya, adalah lebih baik merelakan pribadi kita diproses Tuhan untuk diperbesar kapasitasnya sampai Tuhan approved bahwa waktunya telah tiba untuk kita dipermuliakan bersama Dia. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *