Gembala yang Baik (Yohanes 10 : 11 – 21)
Bahan Diskusi (15 menit):
- Apa peran utama dari seorang Gembala?
- Mengapa Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang baik? Apa yang membuat Dia masuk dalam kategori ‘yang baik’?
- Jika ada gembala ‘yang baik’, tentu ada juga gembala ‘yang tidak baik’. Hal apakah yang menjadi pembeda-nya?
- Sesungguhnya, hal apakah yang paling diharapkan oleh kawanan domba dari keberadaan gembala-nya?
Pengantar Firman (10 menit):
“Menarik ya. Setiap anjing di rumah u ngerti namanya masing-masing. Tiap namanya dipanggil, dia datang dan seneng deket-deket u. Dan u pun kenal sifat dan karakter masing-masing mereka. Ini breed apa, anakan dari induk mana, sejarah dan kisahnya sama u. Sangat personal. Beda dengan di petshop. Mana peduli mereka siapa nama anjingnya. Yang penting jenis Husky bawahnya label harga, jenis poodle bawahnya label harga. Semua cuma objek untuk dijual, ga ada perasaan terlibat”
“Oknum Pemerintah ini terlalu. Bisnis waktu kecil ga dibantu malah dipersulit perijinan, kredit, dll, tapi pas usaha uda mulai gede, mereka mulai berdatangan, cek laporan pajak, cek limbah, cek BPJS– cari-cari kesalahan. Kecil dibiarin hidup sehidup-hidupnya, pas udah gede dijadiin sapi perah. Ga ada ruang untuk medioker, selama kita di bawah radar, mereka ga akan peduli. Tapi pas uda gede, mereka sok perhatian, sok nawarin support, tapi ujung-ujungnya pengen dapat benefit dari gw. Apa gw harus jadi Bjorka dulu gitu, baru pemerintah ngeh dan perhatian sama gw?”
Ya, fenomena hacker Bjorka – adalah puncak gunung es dari masalah yang sesungguhnya telah lama terpendam. Para ‘oknum’ pemimpin negeri sedang disentil untuk tidak terus pencitraan dan nyaman dengan titel elite-nya, menikmati pajak dari rakyatnya tapi tidak amanah. Pajaknya disedot, tapi kesejahteraan-nya diabaikan dengan segala narasi dongeng-nya. Ditambah gaya hedon dan mewah dari para petinggi di saat rakyat kesusahan, kerja 5 tahun pensiun seumur hidup, gaji dan fasilitas yang begitu besar tapi kerja nyatanya tidak sampai mendarat ke kesejahteraan rakyat. Mereka dilabeli “Gembala upahan”, yang ketika ada masalah menyerang domba-dombanya, mereka lepas tangan. Bukan merawat tapi meng-eksploitasi domba-dombanya – bulunya dijual, bahkan jika perlu dagingnya pun dijadikan makanan. Domba yang berkorban bagi gembala-nya dan bukan sebaliknya. Ya, inilah paradoks dunia ini dengan segala sistem hierarki-nya. Yang ‘di atas’ menguasai yang ‘di bawah’, yang ‘di pusat’ menikmati fasilitas ‘layer’ luarnya.
Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):
- Jika bisa jadi domba, kenapa milih jadi Gembala? Jika bisa jadi rakyat, kenapa jadi pemimpin?
- Menurut Anda, mengapa ada orang mau ambil posisi sebagai ‘gembala’? Terlebih menjadi ‘gembala yang baik’?
- Memikirkan kebutuhan pribadi saja sudah ruwet, mengapa mau ditambahkan dengan memikirkan orang lain plus pergumulannya?
- Apa yang paling diperlukan oleh seorang Gembala?
Kesimpulan (25 menit)
Gembala bukanlah sebuah profesi, melainkan panggilan hidup. Cepat atau lambat, setiap kita, ketika panggilan itu datang, pasti akan menjadi dan menjalankan fungsi gembala. Seorang pria ketika ia berumah tangga, otomatis ada panggilan hidup baru yang ditambahkan, ia yang awalnya hidup bagi dirinya sendiri, sekarang ada jawatan baru, yaitu: gembala bagi istri dan keluarga kecilnya. Seorang atasan ketika dipercaya memiliki anak buah, ia pun otomatis mendapat tambahan fungsi, yaitu sebagai gembala bagi para anak buah-nya. Seorang pengajar, guru SM, seberapa pun muridnya, mereka pun adalah domba-domba-nya.
Untuk dapat menggembalakan sekawanan orang apalagi dalam jumlah yang besar, tentu Allah tidak mengutusnya ‘kosongan’. Allah pasti mengenakan kepada-nya ‘tongkat otoritas’, yang sewajarnya diakui oleh kawanan domba-nya. Di samping itu, Allah pun memberikan kepada-nya ‘senjata gada’ untuk melawan pemangsa yang coba mengganggu kawanan domba peliharaan-nya. Setiap hari, Sang Gembala akan membawa domba-dombanya keluar dari kandang, memandunya menuju padang rumput untuk makan dan menjaga mereka dari serangan binatang buas.
Domba adalah binatang yang jinak dan penurut, namun mereka sangat rentan menghadapi alam dan binatang buas. Mereka adalah makhluk yang memang di-design untuk punya leader sebab mereka tidak dapat memimpin dan melindungi dirinya sendiri. Mereka terlalu lugu dan polos, rentan sesat di jalan atau mengikuti gembala palsu. Jika mereka bertemu gembala yang baik, mereka bersyukur. Sebaliknya, jika bertemu gembala upahan, mereka merana. Dan dari hubungan keseharian mereka, bond (ikatan) antara Gembala dan domba akhirnya terbangun.
Gembala membutuhkan apresiasi dan penerimaan sementara domba membutuhkan tuntunan dan perhatian. Gembala senang jika domba-dombanya bisa mempercayakan seluruh hidupnya kepada-nya, tahu bahwa gembala-nya peduli dan memperhatikan setiap kebutuhan-nya. Sementara domba-domba pun berbahagia jika ada perhatian dari gembala-nya, tanpa ia harus cari perhatian dengan sengaja tersesat atau sakit terlebih dahulu. Yesus memberi teladan tentang menjadi seorang Gembala yang baik, dimana ia rela berkorban bagi domba-dombaNya. Ia bahkan rela kehilangan segala-galanya, bahkan nyawa-Nya sendiri diberikan untuk keselamatan domba-domba-Nya. Sesuatu yang juga ditiru oleh Paulus.
Dalam penggembalaan Paulus, banyak kali ia bertemu dengan gembala palsu, yang karena keluguan jemaat-nya, mereka seolah terpana oleh ‘gembala’ ini, yang sebenarnya sedang memperhamba, menghisap, menguasai, bahkan berlaku angkuh dan menampar mereka (2 Kor 11:20). Ya, mereka sedang ‘dieksploitasi’ tapi tetap tersenyum karena lugu dan bodohnya. Dan itu membuat Paulus harus ‘berkata seperti orang gila’, ikut membanggakan kredibilitasnya (yang sesungguhnya itupun dianggapnya tindakan kebodohan), tapi ia harus dan terpaksa lakukan sebab ia kehabisan akal karena domba-domba-nya telah “kena sirep” gembala palsu. Paulus rela menghadapi banyak kesulitan hidup (ayat 23-28). Tujuannya hanya satu: memelilhara semua jemaat-jemaat. Ia rela kehilangan segala kenyamanan bahkan kehidupannya semua diserahkan untuk kepentingan jemaat.
Uncle Ben, kakek dari Spiderman pernah berkata, “With great power comes great responsibility (dengan otoritas yang besar datang pula tanggungjawab yang besar)”. Banyak orang suka dengan titel ‘kelompok elite’, pemimpin kawanan, apalagi ditempeli otoritas kekuasaan yang begitu besar, orang menganggap dia sesuatu – tapi di situlah godaan terbesar sekaligus jebakan pembunuh nomor satu para gembala. Ia bisa sangat tergoda ingin menjadi “yang di atas” dan “yang di pusat”, yang mana ketika power itu dipergunakan egosentris justru ia sendiri yang akan berubah menjadi serigala pemakan domba peliharaan-nya. Semakin banyak domba yang dipercayakan, semakin seorang gembala membutuhkan sosok “Gembala Sempurna” itu dicangkokkan lebih dalam lagi dalam pribadinya. Ia menjadi semakin berkurang dan Yesus menjadi semakin bertambah. Biarlah Yesus saja yang jadi posisi “di atas” dan “di center” sebab hanya Yesus yang memang layak ada di sana, bukan kita. Ia adalah Gembala kita yang baik. Amin.