Roti Kehidupan (Yohanes 6 : 35 – 51)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apa arti penting “roti” dalam konteks kehidupan orang Israel pada umumnya?
  2. Mengapa setiap orang membutuhkan “roti”?
  3. Ketika berbicara mengenai “roti”, perikop Alkitab lain manakah yang Anda ingat?
  4. Apa arti “roti hidup” bagi Anda secara pribadi? Bagaimana Anda memakan-nya?

Renungan Firman (10 menit):

Ada banyak pembahasan mengenai “roti” di dalam Alkitab. Ada manna (roti dari surga) di Perjanjian Lama; ada pencobaan di padang gurun dimana Yesus diminta Iblis mengubah batu menjadi roti; ada berilah kami pada hari ini roti secukupnya pada Doa Bapa kami; ada Perjamuan Kudus dimana roti tidak beragi dipecah-pecahkan; ada Bethlehem, tempat kelahiran Yesus, yang secara literal berarti “Rumah Roti” (Beit = rumah, Lehem = makanan / roti). Bahkan kata “company (perusahaan)”, yang berasal dari kata “cum (dengan atau bersama)” dan “panis (roti)”, memiliki artian: tempat orang bersama-sama berbagi roti. Ya, roti adalah penghidupan. Roti adalah makanan pokok orang Yahudi. “Baruch ata Adonai, Eloheinu Melech ha’olam, hamotzi lechem, min ha aretz” “Diberkatilah Engkau, YHWH Elohim kami, Raja Semesta Alam, yang menghasilkan roti di bumi” – sebuah kalimat yang dipanjatkan selagi kepala keluarga Yahudi memecah roti setiap kali mereka hendak makan. Kebiasaan “memecah roti” ini merupakan salah satu ciri khas kehidupan dari sebuah keluarga atau komunitas Yahudi – menyatakan kasih persatuan dan kebersamaan.

Perikop kita berbicara tentang peristiwa sesaat setelah Yesus membuat mujizat 5 roti dan 2 ikan untuk memberi makan 5000 orang. Jauh sebelumnya, nabi besar mereka, Nabi Musa, juga dipakai Allah untuk memberi mereka roti dari surga ketika berputar-putar di padang gurun. Secara ajaib, Allah menyediakan penghidupan di tengah segala kesulitan dan kemustahilan hidup, bahkan Ia setia memelihara mereka selama 40 tahun sampai masuk tanah Perjanjian. Setiap hari Allah menurunkan roti dari surga untuk mereka makan dan roti itulah yang menopang kehidupan mereka selama masa kering tsb. Mujizat yang dilakukan Yesus mengingatkan mereka kembali akan peristiwa roti surga tsb. Yesus mulai dikaitkan sebagai personifikasi Musa. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti ke mana pun Yesus pergi. Tapi Yesus justru melangkah lebih jauh, Ia tidak berhenti di sebatas sebagai personifikasi Musa yang menurunkan roti dari surga, tapi Yesus meng-klaim bahwa diri-Nya sendiri lah Roti dari surga tsb, Ia lah Sang Roti Hidup yang diberikan Allah bagi umat Israel dan mereka diminta untuk memakan-Nya.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apa arti “makan roti hidup” itu? Apakah itu berarti kita menjadi kanibal yang memakan daging sesama manusia lainnya?
  2. Apa respon kebanyakan orang Israel saat menerima manna di padang gurun?
  3. Bandingkan dengan respon orang Israel saat Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Roti Hidup (ayat 41). Dimanakah letak persamaan atau perbedaan-nya?
  4. Apa hubungan Roti Hidup ini dalam konteks kita berkeluarga?

Kesimpulan (25 menit)

Roti adalah kebutuhan pokok orang Yahudi. Ada roti mereka kenyang, tidak ada roti mereka lapar. Mereka membutuhkan-nya setiap hari dan bahkan mereka akan selalu berupaya untuk memastikan roti terus tersedia bagi anggota keluarga-nya. Roti juga adalah pemersatu di meja makan setiap keluarga (memecah roti bersama).

Dalam konteks kita saat ini. Roti itu ibarat berkat jasmani. Adalah wajar jika setiap kita mengusahakan-nya terus ada dan cukup hari demi hari. Kita tidak ingin orang terkasih kita lapar. Tapi pengejaran akan roti ini menimbulkan 2 hal, yaitu: 1. jika kita kesulitan untuk mendapatkan-nya maka timbul rasa kuatir; 2. jika kita mampu mendapatkan-nya, kita akan menemukan bahwa tidak lama kemudian, kita akan kembali lapar dan ternyata butuh asupan secara berkala dan seumur hidup. Kita “diperbudak’ oleh rasa lapar. Ingin dan ingin lagi, tanpa pernah terisi penuh dan kenyang. Ya, rasa lapar itu menjadi ‘candu’ yang membuat kita terus mengejar-nya.

Berkaca pada perjalanan bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian, ada saat-saat dimana Allah menguji iman percaya mereka kepada-Nya. Mereka yang awalnya masih membawa perbekalan, lama kelamaan mulai berkurang dan habis. Dan tepat 1 bulan setelah keluar dari Mesir, ketika mereka berjalan keluar dari Elim dan diperhadapkan pada padang gurun Sin, tempat tandus tanpa pohon kurma dan mata air, segera mereka mulai bersungut-sungut dan merindukan kuali daging dan roti di Mesir (Keluaran 16). Namun Allah berbelas kasih, Ia berfirman kepada Musa, “sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu, maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak (ayat 4)”. Rasa lapar menimbulkan sungut-sungut. Tuhan sudah baik memelihara, tapi tetap dianggap tidak cukup. Mereka ingin lebih dari sekedar manna yang ajaib itu.

Perhatikanlah piring-piring yang kita makan 3 kali sehari sesuai dengan jumlah anggota keluarga kita. Apakah pernah ada 1 hari dimana kita benar-benar kesulitan mendapat makan? Bahkan di masa pandemi, yang menurut sebagian besar orang, adalah masa-masa “padang gurun”. Harga minyak goreng, listrik, bensin, cabe, LPG naik; biaya kebutuhan hidup meningkat namun pemasukan terbatas. Apakah pernah mujizat 5 roti dan 2 ikan itu berhenti mencukupi kebutuhan keluarga Anda? Apakah pernah manna dari surga itu tidak hadir di meja makan Anda? Jika Anda selalu merasa kurang, merasa lapar, merasa segala sesuatu tidak terpuaskan, Anda perlu melangkah lebih dalam lagi. Ya, kenali lah Yesus tidak hanya sebatas mediator saja, tapi “makan” lah Dia, Sang Roti Hidup itu, maka Anda tidak akan pernah merasa ‘lapar’ lagi selama-lamanya. Bagi-bagikan lah Ia di tengah keluarga Anda sampai seisi rumah Anda pun mengalami kepenuhan-Nya. Maka sungut-sungut itu akan berganti dengan ucapan syukur, rasa kurang akan diganti dengan rasa kelimpahan, “candu” mengejar sekedar roti jasmani diubah menjadi “kasih akan Allah”. Rumah tangga Anda akan menjadi Bethlehem (Rumah Roti) tempat Kristus hadir dan bersemayam di dalam-nya.

Mengapa kuatir melihat kondisi sekeliling saat ini? Mengapa takut menghadapi hari depan? Biar saja Elim berganti menjadi Padang Gurun Sin, biar saja ‘perbekalan Mesir’ yang telah kita kumpulkan sekian lama mungkin segera habis, biarlah mata-mata air berubah kering dan roti bundar yang biasa kita olah habis, sebab justru itu adalah saat terbaik kita mendapatkan Roti Hidup dari surga dan Air hidup dari Batu Karang yang terbelah hari lepas hari. Ya, hari lepas hari, besar kasih Allah pada kita. Jangan kuatir dan gelisah hati-mu, percaya saja. Allah Bapa kita setia memelihara. Sang Roti Hidup itu pun terus diberikan-Nya setiap hari untuk kita dari surga, yang saat kita memakan-Nya, kita tidak akan lapar dan haus lagi. Pertanyaannya: sudahkah kita memakan-Nya? TUHAN memberkati. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *