Tidak Berayah (Yohanes 14 : 18, Mazmur 27:10)
Bahan Diskusi (15 menit):
- Apa kesan mendalam Anda tentang sosok ayah dan ibu kandung Anda?
- Apakah saat ini Anda masih memiliki orangtua yang komplit?
- Bersyukurkah Anda memiliki orangtua seperti mereka? Apakah mereka telah menjadi orangtua yang baik?
- Apa jadinya jika suatu hari atau bahkan saat ini sudah – Anda harus kehilangan orangtua Anda karena berpulang dan menjadi yatim piatu?
Renungan Firman (15 menit):
Alkisah seorang Baginda Raja mendapati ayam betinanya bertelur dan sebagai rasa syukurnya, ia mengadakan sayembara dimana ia akan memberikan hadiah satu pundi emas kepada yang berhasil menjawab pertanyaan-nya namun hukuman penjara jika jawaban-nya tidak memuaskan. Pertanyaan Raja sederhana: manakah yang lebih dahulu: telur atau ayam? Pada akhirnya hanya ada 4 orang yang berani mencoba memberi jawab. Singkat cerita, jawaban ketiga orang awal tsb tidak memuaskan dan tibalah giliran Abu Nawas. Dengan lantang ia menjawab, “ayam lah yang terlebih dahulu”. “Coba terangkan secara logis” perintah Raja. “Begini Baginda, ayam bisa mengenali telurnya, sebaliknya telur tidak mengenal ayam”. Baginda merenung cukup lama, tanpa bisa menyanggah dan akhirnya memberi hadiah pada Abu Nawas.
Ya, dalam dunia unggas dikenal istilah ‘imprinting’, dimana anak unggas yang baru menetas segera membutuhkan role model sehingga apa yang mereka lihat pertama kali saat keluar cangkang akan dianggap sebagai ‘induk’-nya, bahkan jika itu benda mati sekalipun. Mereka merasa ‘ia’-lah yang akan mengajarkan banyak hal hingga dewasa. Imprinting ini adalah proses pembelajaran yang sangat penting karena sang anak tidak secara otomatis mengetahui seperti apa dirinya waktu menetas — dan mereka akan terus mengikuti ‘induk’-nya kemana pun ia pergi.
Bukankah hal yang sama terjadi pula pada kita? Kita tahu sekarang bahwa proses kejadian kita begitu fearfully and wonderfully made, dashyat dan ajaib cara TUHAN menjadikan kita dalam ‘telur’ induk kita – dan yang pertama kali kita lihat adalah orangtua kita – sarana proses pembelajaran imprinting kita sampai dewasa.
Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):
- Adakah orangtua yang sempurna?
- Apa yang terjadi ketika ‘role model’ indukan kita buruk, tidak berfungsi bahkan tidak mengakui kita sebagai anak-nya?
- Anak siapakah yang paling beruntung di dunia ini?
- Apa maksud dan rencana TUHAN menempatkan ‘si bayi mungil’ yang diciptakan dashyat dan ajaib ini di tengah keluarga kita saat ini?
Kesimpulan (20 menit)
Fatherless Generation, Generasi Tanpa Ayah – sebuah fenomena dimana terjadi ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan anak. Fenomena ini sebenarnya cukup marak terjadi di tengah masyarakat kita tapi tidak kasat mata, semisal keluarga miskin yang tidak memiliki figur ayah karena ibunya merupakan istri muda, ada pula keluarga kaya yang kehilangan figur ayah karena alasan sibuk bekerja, tingkat traveling tinggi, atau secara sadar tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas. Alasan lain, seperti perceraian, anak di luar nikah, orangtua tunggal, dll – turut berandil besar dalam melestarikan ‘fatherless generation’ ini.
Ayah bukanlah robot pencari nafkah. Ada anak dan istri yang membutuhkan lebih dari kehadiran seorang ayah secara fisik saja. Seorang ayah, memang harus selalu dekat dengan keluarga, khususnya sang anak, sesuai dengan tahapan usianya. Menjadi ayah yang baik, bukan berarti harus menjadi superdad dan multitasking. Yang sebenarnya dibutuhkan adalah keikhlasan untuk memberi waktu bagi anak, memberi telinga untuk mendengar kisah mereka, betapapun konyol dan tidak masuk akalnya cerita tsb, dan bersedia untuk memberi kehangatan melalui ciuman, pelukan, komunikasi hangat dan terbuka” (Cicilia Evi, Psikolog National Hospital Surabaya).
Hasil survei secara mengejutkan menunjukkan bahwa 85% anak bermasalah tumbuh tanpa ayah. 71% anak yang putus sekolah pun tanpa ayah. Mengapa ayah? Bukankah ibu juga berperan penting? Dari ibu, seorang anak belajar soal aman tidaknya berhubungan dengan dunia (self and society anxiety) – bagaimana cara bergaul dan berinteraksi dengan lingkungan. Tapi pembelajaran soal nilai dan prinsip kehidupan akan diperolehnya dari ayah. Ketegasan, pembuatan keputusan, keberanian mengambil risiko dan tantangan (risk taking) serta nilai hidup lain seperti integritas, disiplin, mengalah, pengendalian diri, dsb – itu ada di figur ayah. Ayah adalah penyeimbang dari sisi kelembutan yang dimiliki seorang ibu. Ketidakhadiran sisi ini bisa memberikan berbagai dampak yang buruk.
Pertama, ketiadaan peran ayah, role model ketegasan – bisa membuat sex role model anak menjadi kacau. Tidak jarang disorientasi seksual / homoseks disebabkan karena anak tumbuh besar di lingkungan yang penuh unsur kewanitaan. Akibatnya ia pun menjadi tertarik dengan sesama lelaki untuk menggantikan figur ayah yang hilang. Kedua, bagi anak putri, sosok ayah merupakan pria pertama yang ia kenal. Ketidakhadiran ayah akan membuat ia bingung tentang bagaimana kriteria pria yang diidam-idamkannya sebagai suami. Ketiga, sisi maskulin ayah soal tegas dan disiplin adalah bekal anak untuk membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dalam hidupnya. Olahraga pria mengajarkan keberanian, kenekatan, pola permainan yang berbeda, keras, penuh risiko, ada unsur bahaya. Sesuatu yang terkadang dibutuhkan anak dalam menghadapi kehidupan-nya di dunia ini. Tanpa role model yang baik, sang anak bisa tumbuh dengan ketidakberanian mengambil risiko atau sebaliknya, tidak punya ketakutan sama sekali terhadap risiko dan bahaya (Anthony Dio Martin).
Fatherless, anak yatim – adalah kondisi yang ditakutkan pula oleh para murid ketika Yesus hendak pergi meninggalkan mereka. Dan Yesus mengerti kondisi tsb, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu (Yohanes 14:18)”. Allah telah berfirman “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau (Ibrani 13:5). Dan sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku (Mazmur 27:10). “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Lukas 11:11-12). Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati, kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibrani 12:9-10). Tidak cukupkah ayat-ayat itu menyatakan pada kita bahwa kita bukanlah fatherless generation sebab kita memiliki Bapa yang kekal dan itu sudah cukup. Amin.