Bersama Mencapai Kemaksimalan (1 Korintus 9 : 24 – 25)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apakah Anda saat ini dapat mengenali apa yang sedang menjadi pergumulan Anda sendiri?
  2. Sebaliknya, apakah Anda saat ini dapat pula mengenali pergumulan yang sedang dialami oleh orang sekitaran Anda?
  3. Bagaimana Anda memandang keberadaan orang lain yang sedang tidak dalam posisi terbaiknya, seperti: jatuh dalam dosa, terikat dalam adiksi, memiliki cacat karakter, dsb? Penghakiman atau toleransi?
  4. Apa dasar penghakiman Anda? Dan apa dasar rasa toleransi Anda?

Renungan Firman (15 menit):

‘Seorang Oknum Pendeta Terpergok Berbuat Terlarang dengan Selingkuhan di dalam Gereja (jpnn.com 21 Mei 2020)‘ ‘Petinggi Vatikan Terlibat Kejahatan Keuangan (cbncindonesia.com 3 Juli 2021)’ ‘Ravi Z. Menyembunyikan Ratusan Foto Wanita, Melecehkan Saat Pijat, dan Tuduhan Pemerkosaan (christianitytoday.com – 24 Maret 2021)’ — adalah headline berita mengenai ‘dosa yang tersingkap’ dari seseorang dan sayangnya itu melibatkan tokoh publik, terlebih dari kalangan rohaniawan gereja.

Perselingkuhan, penggelapan uang, pemerkosaan, LGBT dan pedophilia adalah contoh kasus yang seringkali dipertontonkan kepada publik. Belum lagi perceraian, kenakalan anak hamba Tuhan, sifat mata duitan, preferensi kepada jemaat kaya pun tidak luput menjadi ‘gorengan’ panas di antara sesama orang percaya tentang kualitas hamba Tuhan-nya. Bahkan di antara sesama jemaat pun, gunjingan ‘Koq dia bisa tajir gitu sich? Jangan-jangan dia gelapin uang’ Aneh ya, tetangga itu kerjaannya di rumah aja, tapi duitnya banyak. Apa dia piara babi ngepet?’ ‘Tiap hari dia jalan-jalan dan belanja barang branded, pasti ga lama lagi keciduk KPK’.

Saudaraku, entah itu hamba Tuhan atau jemaat awam – Firman Tuhan dengan jelas menggarisbawahi bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Semua telah menyeleweng dan semua tidak berguna. Tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak (Roma 3:10-12). Ya, kita SEMUA adalah manusia berdosa yang membutuhkan TUHAN. Semua yang berasal dari Adam adalah corrupted dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Manusia yang adalah gudangnya dosa dan khilaf dengan segala kecenderungan hati-nya adalah daging.

Tanpa mengenal Allah dan tanpa mengalami kelahiran kembali, manusia tidak dapat beroleh jalan pemulihan. Segala tindakan-nya hanya gimmick luaran saja. Kesalehan-nya semu dan tidak dapat memenuhi standar kedalaman Allah. Ia akan cenderung menampilkan topeng kemunafikan untuk seolah-olah tampak bersih dan benar di luaran tapi dalamnya penuh kepalsuan dan hipokrisi. Sesama manusia berdosa janganlah saling senggol – adalah pesan menohok untuk mereka yang hanya bisa melihat balok di mata orang lain, tapi gagal melihat selumbar di mata sendiri.   

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apa bedanya hamba Tuhan yang selingkuh dengan kita yang mencuri, tidak hormat pada orangtua, berbohong, dsb? Manakah yang dosanya lebih berat?
  2. Apakah jika kita telah taat melakukan seluruh perintah TUHAN, tapi ada jatuh dalam satu dosa saja –dapatkah kita dibilang sebagai ‘orang kudus’ (Yak 2:10)?
  3. Jika kita adalah orang berdosa dan dia juga adalah orang berdosa. Atas dasar apa kita dapat menghakimi sesama kita? Siapakah yang mengangkat kita menjadi hakim terhadap sesama kita (Yak 4:12)?
  4. Bagaimana respon terbaik kita terhadap mereka yang sedang lemah dan jatuh?

Kesimpulan (20 menit):

Julid (iri dan dengki dengan keberhasilan orang lain) dan ‘nyinyir (berulang-ulang menjelekkan orang lain)adalah dua istilah medsos tentang sikap “senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang”. Ketika seseorang mengalami keberhasilan hidup, jauh melebihi pencapaian kita, rasa iri dan pikiran liar mulai bermain, “pasti korupsi” “pasti bisnisnya ga benar”, dsb. Sebaliknya, ketika seseorang sedang jatuh terpuruk, “tuh kan karma” “sekarang u lagi nuai” “makanya jadi orang jangan culas” “buka dulu topengmu, biar kulihat warnamu”.

Seumpama sederetan atlet lari sedang berlomba lari marathon, setiap mereka diwajibkan menempuh jarak yang sama (42.195 km). Ada yang cepat melesat di awal, ada yang konstan lari kecepatan sedang, ada yang menjaga stamina untuk sprint di KM terakhir. Setiap orang memiliki strategi, kapan waktu kondisi terbaik-nya dan waktu kondisi fatique-nya masing-masing. Ada yang di KM 10 rasa fatique mulai terasa, ada yang di KM 30 memerlukan istirahat ringan, ada yang menjelang akhir, semua otot-nya berasa terbakar dan menjadi sangat berat. Ya, setiap orang memiliki perjuangannya sendiri lengkap dengan kesulitan dan kelelahan yang harus dilewati.

Keberadaan sesama pelari justru memotivasi seseorang terus berlari. “Yok terus lari, bro. Kamu bisa” “Ayo, semangat. Menang lawan rasa sakit dan letihmu” “Ayo, garis finish uda dekat, jangan kasih kendor”. Ada yang terus berjuang meskipun tertatih-tatih mengejar garis finish-nya, ada yang gugur di tengah jalan, ada yang memilih ‘tersesat’ jajan di warung kopi, ada pula yang coba ‘ngehack’ jalur dengan menumpang motor yang melintas. Tapi sesungguhnya, jika ada 10.000 pelari, setiap mereka tidak sedang bersaing melawan 9.999 pelari lainnya. Yang ia lawan adalah ‘garis finish’nya. Bagaimana ia harus sedemikian rupa berlari dan berjuang demi mencatatkan waktu terbaik pribadi-nya. Semakin ia memaksimalkan banyak hal, semakin cepat ia berada di kemaksimalan-nya. Semakin banyak ia membuang waktu, semakin ia jauh dari kemaksimalan-nya. Bukankah kehidupan pun seperti itu?

Bukanlah persoalan si A di umur 20 tahun sudah sukses, si B di umur 40 tahun masih belum punya apa-apa, si C di umur 60 tahun justru kehilangan segalanya. Atau di umur 40 tahun, si D sedang dalam posisi terjatuh selingkuh, si E masuk penjara, si F mati sakit, dsb. Itu semua adalah proses kehidupan yang setiap mereka harus lalui. Manusia tidak sedang berkompetisi satu dengan yang lain, melainkan berurusan dengan TUHAN dan garis finish-nya. Kalaupun ia harus terjatuh, masuk lubang, injak paku, digigit anjing, dsb – itu adalah proses pembelajaran-nya. Setiap kita punya misi untuk menyelesaikan gelanggang pertandingan kita masing-masing bersama TUHAN, bagaimana menjadi versi manusia terbaik yang kita bisa gapai. Keberadaan sesama bukanlah sebagai saingan apalagi musuh, melainkan justru sebagai alarm bahwakejatuhan mereka pun bisa terjadi kapan saja pada kita dan setiap kita masing-masing punya jalur kesuksesan-nya sendiri-sendiri yang tidak perlu diperbandingkan. Mengapa harus ‘julid’ dan ‘nyinyir’?

Bersyukurlah jika tetangga-mu sukses, itu berarti dia tidak perlu meminjam uang kepadamu. Mintakanlah berkat TUHAN bagi mereka yang sulit bayar hutang supaya bisa bayar hutang. Jangan sebaliknya. Rasain lu! Biar miskin selamanya! Lha, kalo dia miskin selamanya, kapan utangnya lunas? Jadilah manusia yang dapat bersukacita dengan orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis (Roma 12:15) maka dunia ini pasti damai. Dan itu semua dimulai dari kita yang telah berdamai dengan kehidupan dan sesama. Selamat merayakan Bulan Perdamaian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *