Generasi ke Generasi (Yoel 2 : 28 – 29)
Bahan Diskusi (15 menit):
- Termasuk Generasi apakah Anda? Babyboomer, Gen X, Y, Z atau alpha?
- Tahukah Anda karakteristik tiap generasi tsb? Kelebihan dan kekurangan-nya?
- Jika ada perselisihan, pertentangan antar generasi, misalnya antara orangtua dengan anak atau antara kakek dengan cucu atau adik dengan kakak yang berbeda umur cukup jauh. Kira-kira solusi penyelesaian konfliknya seperti apa?
- Tahukah Anda alasan mengapa seseorang harus memilih untuk ribut dan bertengkar? Apa yang sedang ia perjuangkan?
Pengantar Firman (10 menit):
“Kamu tuh sekarang apa-apa pesan online. Beli makan, pake gofood. Beli baju, order online. Males gerak amat sich. Dulu jaman nenek muda, nenek pergi ke pasar pagi-pagi beli bahan, trus masak sendiri baru bisa makan. Atau kalaupun terpaksa beli ke warung, ya nenek jalan kaki kesana. Biar sehat juga. Kamu ini dari tadi cuma pegang HP aja. Masak ngga, jalan keluar rumah juga ngga.” Percayalah, jika topik percakapan antara nenek dan cucu ini diteruskan pasti ending-nya ribut besar tanpa solusi. Si cucu akan mengira si nenek jadul, si nenek akan mengira si cucu pemalas.
“Ini bayi gw paling anteng kalo pas disuapin makan sambil nonton Youtube. Gw setelin itu soalnya bagus untuk melatih daya imajinasi, visual, musikalitas-nya. Cuma si mama tuh suka complain, anak tuh jangan dikasih pegang HP mulu, kali-kali mesti diajarin maenan tradisional kayak dulu waktu gw kecil. Tapi gimana ya, gw juga uda capek kerja dari pagi sampe malem. Pas di rumah mo nemenin anak uda lelah. Biar dia nonton Youtube aja sampe ketiduran sendiri”. Si mama akan melihat si anak terlalu permisif dan kurang perhatian sementara si anak akan merasa mamanya tidak mengerti keletihan dan teori perkembangan anak terbaru-nya.
“Kamu tuh coba ngelamar kerja, cari perusahaan yang bonafit. Kakak dari kerja sekarang bisa beli ini itu. Kamu seharian cuma bikin konten, foto-foto, pasang status jualan. Sayang waktunya kebuang-buang” yang akan segera dibantah oleh adik milenial-nya “kakak mah kuno. Cari uang itu ga harus kerja di perusahaan. Ngapain kejer gaji UMR tapi Senin-Sabtu terus kerja, pagi sampai sore. Itu mah perbudakan. Gpp sekarang gw dibilang pengangguran, ga jelas, dsb. Tapi liat aja nanti, pas usaha gw booming, jangan minta ikut kerja ke gw ya”.
Tiga skenario di atas sungguh umum terjadi dalam kehidupan kita bersosialisasi. Nenek ke cucu, orangtua ke anak, kakak ke adik. Sudut pandang, karakteristik, budaya jaman, pola pikir semua orang jelas berbeda, tergantung informasi ‘big data’ yang dia miliki. Orang hanya bisa berubah jika informasi yang dia miliki berbenturan dengan sesuatu yang lebih kokoh, lebih valid dan lebih benar. Sang nenek terbangun dengan pola dan gaya seperti itu sejak dia muda sehingga output-nya pun menjadi seperti itu. Ia benar dalam pandangan-nya. Sementara sang cucu lahir dan besar dengan pola informasi yang berbeda dan itupun membentuk karakter-nya. Ia pun benar dalam pandangan-nya. Dan disinilah perlunya peranan pengertian dan kasih yang praktikal.
Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):
- Menurut Anda, apa solusi damai dari setiap urusan antar manusia?
- Damai seperti apa yang seharusnya dimiliki setiap kita: damai karena gencatan senjata “daripada ribut, mending diem”? Atau … ?
- Dari mana damai itu bisa hadir ketika kita melihat ada sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai dan prinsip hidup kita?
- Sikap apa yang harus dilakukan untuk menjembatani pola perilaku antar generasi yang berbeda?
Kesimpulan (25 menit)
“Setiap jalan orang aalah lurus menurut pandangan-nya sendiri, tetapi TUHAN menguji hati (Amsal 21:2)” “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan (Amsal 14:29)”. Merasa diri paling benar dan tidak bisa menerima sudut pandang yang lain dan berbeda dengan ‘pakem’ yang kita pegang – sungguh telah menjadi alasan nomor satu mengapa perdamaian sulit tercapai. Ya, setiap orang pasti merasa benar dalam pandangannya dan butuh kerendahan hati dan pengertian yang besar untuk seseorang dapat bersabar dalam memberi penilaian sampai jelas duduk persoalan-nya. Sang nenek dan cucu akan bisa berpelukan hangat dan saling mendukung apabila keduanya dapat saling mengerti posisi dan keadaan masing-masing. “Gini aja, nek. Saya akan orderin nenek makanan online yang pasti nenek suka tapi nenek juga janji ya akan ajak saya ke pasar beli bahan dan ajarin masak”.
“Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban (Amsal 20:29)” Rambut yang memutih (uban) adalah lambang kematangan, hikmat serta kedewasaan – buah dari proses panjang pengalaman bertahun-tahun ditempa oleh kehidupan. Orang tua punya konten / isi / saripati, anak muda punya packaging / konteks yang kekinian. Bahkan dalam dunia bisnis sekarang, kolaborasi gen X dan gen Z sangat mendominasi. Ibarat kita punya satu resep kue yang sangat enak hasil trial error berkali-kali, menghabiskan banyak waktu dan bahan tapi bingung mengemas dan memasarkannya. Ya, kue enak itu adalah konten, dan cara mengemasnya adalah packaging-nya. Orang tua butuh anak muda untuk jadi relevan dan kekinian dengan ekosistem saat ini. Tapi anak muda juga butuh pengalaman dan nasihat serta bimbingan dari orangtua. “Nak, hati-hati kalo ketemu orang kayak gitu, pasti nti kamu dikerjain” “Ga lah, pa. Positive thinking aja. Dia baek banget koq”. Ga lama beneran ketipu. Hargailah nasihat dan bimbingan orangtua. Tidak ada cara pintas mendapatkan pengalaman. Ketimbang buang waktu dan sakit harus mengalami semua onak dan duri “uang sekolah”, akan lebih baik jika mendengarkan nasihat orangtua, bukan?
Paulus meletakkan dasar yang sangat pas. Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegurlah dia sebagai bapa. Tegurlah orang-orang muda sebagai saudaramu, perempuan-perempuan tua sebagai ibu dan perempuan-perempuan muda sebagai adikmu dengan penuh kemurnian (1 Timotius 5:1-2). Jika pedoman ini kita lakukan, pastilah bukan perkataan sia-sia yang kita lontarkan, perdebatan kusir tanpa ujung yang kita munculkan, kepahitan dan penyesalan yang kita dapatkan – melainkan kasih perdamaian satu dengan yang lain. Antar generasi saling mengerti dan memahami posisi dan sudut pandang masing-masing, mencoba menempatkan diri di ‘sepatu’ orang lain dan bukan diri sendiri.
Terakhir, pemulihan hati Bapa adalah skenario TUHAN di akhir jaman dimana hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-nya. Penuaian jiwa-jiwa (hujan akhir) pun adalah skenario TUHAN di akhir jaman dimana TUHAN seperti nubuat Yoel menyatukan 3 generasi dengan karakteristiknya masing-masing (anak laki dan perempuan bernubuat, orang tua mendapat mimpi, teruna mendapat penglihatan) menghadirkan pencurahan Roh TUHAN ke atas semua manusia. Pemulihan antar generasi ada di hati-Nya Tuhan. Generasi yang satu mewariskan tongkat estafet kemajuan perkembangan Kerajaan Allah kepada generasi berikutnya, sampai bumi penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang menutupi dasar laut (Habakuk 2:14). Datanglah Kerajaan-Mu, Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga. Amin.