Torang Samua Basudara (Galatia 5 : 13 – 15)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Siapakah “saudara” kita?
  2. Apa dasar kita menganggap mereka sebagai “saudara”?
  3. Apakah saudara itu harus sedarah, sesuku, segereja atau sesama manusia?
  4. Apa arti “sesama manusia”? Siapakah “sesama manusia” itu?

Renungan Firman (10 menit):

Di tengah konflik horizontal, antar suku, agama, ras dan antargolongan yang terjadi baik di Indonesia bahkan di hampir seluruh belahan dunia, kredo ‘’Torang Samua Basudara’’ sungguh perlu digaungkan kembali. Berawal dari kepedulian warga Minahasa terhadap tujuh tokoh Jawa yang menjadi tawanan perang Belanda dan diasingkan ke Manado, dimana awalnya mereka berbagi makanan dan pakaian dengan tawanan tsb hingga terjalin kasih bahkan pembauran melalui perkawinan antara Jawa-Minahasa bahkan saking lekatnya hingga terbentuk sebuah kampung di Tondano bernama Jaton (Jawa-Tondano) — adalah bukti riil persaudaraan yang rukun antara 2 suku, agama, ras antargolongan yang berbeda.

Masyarakat Sulut dan Manado sebagai ibukotanya memandang tidak ada untungnya jika mengancam dan merasa terancam dengan perbedaan. Di dunia mana pun, tidak ada manusia yang sama, bahkan yang kembar sekali pun tetap berbeda, karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sejumlah perbedaan di dalam dirinya. Kredo “Torang Samua Basudara” bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang indah dan mengandung nilai kehidupan. Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai. Kita hanya bisa menemukan kekuatan dan kejayaan bila Torang Samua Basudara, menghargai perbedaan atau Si Tou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupi sesama manusia yang lain).

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apakah “Torang samua basudara” merupakan praktek Firman TUHAN?
  2. Menurut Anda, mengapa TUHAN menciptakan manusia yang satu dengan yang lain begitu berbeda?
  3. Perbedaan pemikiran, sudut pandang, latar belakang, hobi, dll. Apakah mungkin segala perbedaan tsb diseragamkan?
  4. Apakah TUHAN suka keseragaman (satu merah, semua merah) atau kesatuan (walaupun kamu merah, saya putih, dia biru – kita berbeda namun sama-sama bagian dari Sang Warna untuk berharmonisasi menghasilkan karya yang indah)?

Kesimpulan (25 menit)

Banyak orang, sadar tidak sadar suka bermain sebagai TUHAN (playing God) dengan cara menjadi hakim bagi sesama-nya. Mereka menjadikan Hukum Taurat bukan sebagai rambu bagi pribadi-nya, tapi justru untuk menuntut dan menghakimi orang lain. Tahukah Anda dasar dari hukum Taurat itu? Hukum Taurat itu harus dilakukan tanpa terkecuali. Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan ‘Jangan berzinah’, Ia mengatakan juga ‘Jangan membunuh’. Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga. Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang. Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman (Yakobus 2 : 10 – 13).

Tidak ada orang yang luput dari dosa / kemelesetan. Kita mungkin tidak membunuh atau berzinah, tapi kita membenci dan berpikiran cabul / pornografi. Kita mungkin tidak poligami, tapi kita mengeluarkan banyak perkataan sia-sia dan janji-janji yang tidak bisa kita tepati. Kita tidak jatuh dalam dosa zinah, tapi kita jatuh di dosa gosip. Kita tidak jatuh di dosa membunuh, tapi kita jatuh di dosa kuatir / tidak percaya pada pengaturan TUHAN. Hadir satu dosa saja, maka seluruh kerangka kekudusan hidup atas kesalehan kita pun langsung rubuh. Hidup bukan tentang hitung-hitungan pahala, tiap-tiap hari menabung kebaikan untuk menambah berat sisi timbangan kebaikan yang mudah-mudahan lebih berat dari timbangan sisi pelanggaran. Tidak. Allah telah mengarisbawahi dengan tegas bahwa “tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak (Roma 3 : 10 – 12).

Kita semua adalah orang berdosa yang butuh TUHAN. Kita semua adalah orang berdosa yang telah diselamatkan karena kasih karunia dan bukan hasil perbuatan sendiri. Kita semua harus ingat kodrat. Kalau kita tidak diselamatkan dan mengalami pengenalan akan Kristus, kita pun masih akan tetap menjadi orang-orang yang terpisah dari Allah sama seperti orang-orang yang belum percaya Kristus. Kita pun sama “jahatnya”, bahkan lebih jahat daripada kebanyakan manusia yang belum kenal Kristus. Tapi syukur pada Allah, kita diselamatkan, kita dibenarkan. Tidak ada dasar untuk kita bermegah atas kesanggupan sendiri. Semua dikerjakan dari pihak Allah dan kita hanya percaya. Dan arti ‘percaya’ ini adalah mengijinkan Dia memegang kendali atas hidup kita. Kita ‘percaya’ naik bus tanpa kita menanyakan apakah supirnya sudah punya SIM atau belum, berapa lama jam terbangnya, mampukah dia bawa kita sampai ke tujuan. Tidak! Kita hanya naik, duduk di kursi penumpang dan turun ketika sampai. Itulah “faith / iman”. TUHAN jadi pengemudi dan kita penumpang-Nya. Dia yang duduk di kursi tahta hidup kita dan kita turun dari sana.

 Di bulan misi ini, hendaklah kita tidak menganggap orang-orang yang belum menerima Kristus sebagai “target market” ataupun “objek” yang harus dihakimi, bahwa kita pasti masuk surga dan mereka pasti masuk neraka. Aku, kamu, dia dan mereka adalah sama-sama orang yang suatu hari kelak harus berdiri di depan tahta pengadilan Allah dan dihakimi-Nya. Kita bukanlah hakim, melainkan DIA. Kita hidup untuk saling mengasihi karena kita semua adalah “sesama manusia”. Kita semua dilahirkan dari satu keturunan yang sama, keturunan Adam. Kita tidak sedang berkompetisi satu dengan lain dalam sebuah gelanggang marathon. Keberadaan satu dengan yang lain justru sangat berguna untuk menguatkan dan mengarahkan kita. Kita tidak sedang bertanding dengan mereka, tapi kita justru sedang bertanding dengan garis finish kita masing-masing, apakah aku bisa sampai garis akhir sesuai ketentuan yang berlaku, apakah aku bisa me-maksimal-kan segala potensi yang ada dan finish bahkan meraih mahkota dalam waktu terbaik-ku, tanpa harus berputar-putar atau tersesat terlalu lama? Ya, kita semua sedang berlari marathon. Jika ingin lari cepat, larilah sendiri, tapi jika ingin lari jauh, berlarilah bersama. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *