Kepada Allah segala Kemuliaan (Galatia 1 : 5)
Bahan Diskusi (15 menit):
- Apa itu “kemuliaan”?
- Darimana kah datang-nya “kemuliaan” itu?
- Bagaimana cara manusia memperoleh “kemuliaan”-nya?
- Apa ciri orang yang “penuh dengan diri sendiri (full of self) – self centered”? Bandingkan dengan ciri orang yang “penuh dengan kemuliaan Allah – God centered”? Dimanakah letak perbedaan mendasarnya?
Renungan Firman (15 menit):
Salah satu unsur intrinsik dalam sebuah drama adalah penokohan, dimana berdasarkan perannya, penokohan ini dibagi menjadi dua, yaitu: tokoh utama dan tokoh pembantu (figuran). Adapun tanda bahwa seseorang adalah tokoh utama sbb: intensitas muncul-nya paling sering, posisi-nya sentral dan menjadi pusat perhatian, serta banyak-nya dialog dan scene yang berhubungan dengan peran tokoh tsb. Tokoh ini demikian ‘menjual’ sehingga nama-nya selalu dimunculkan di awal film sebagai daya tarik marketing (bandingkan dengan stuntman-nya yang hanya muncul saat adegan sulit dan berbahaya). Ya, saat semua mulus, tokoh utama tampil mengambil segala credits yang diberikan, tapi ketika ada kesulitan dan bahaya, ini meminta orang lain (stuntman) mengambil beban-nya dan menggantikan dia.
Ya, banyak orang suka mengambil peran sebagai tokoh utama, banyak orang ingin diperhatikan bahkan disanjung. Mereka ingin ‘dianggap’ sebagai sesuatu (something) dan marah ketika ‘dianggap’ remeh (nothing). Mereka suka dimuliakan, dihormati, dijadikan pusat – semua mesti berputar di sekitaran-nya. Dengan kata lain, mereka mengejar kemuliaan-nya, penghargaan diri-nya. Adakah yang salah dengan itu? Sepertinya itu adalah hal yang wajar, bukan? Justru di jaman serba ‘pamer’ ini, orang berlomba-lomba menonjolkan diri-nya, memuliakan aku-nya. “Thanks God gw bisa traveling ke Eropa” “Hi guys, asik nich rebahan di Presidential Suite Ritz Carlton Jakarta bertarif 98 juta per malam” cepret foto selfie. Ya, saat ini begitu ramai ’Fenomena Flexing’: suka pamer harta, padahal sultan abal-abal. Sebuah pepatah berkata, “poverty screams, but wealth whispers (kemiskinan berteriak, tetapi kekayaan berbisik)”. Rhenald Kasali berkata, “jadi benar sekali bahwa orang-orang kaya itu tidak berisik, whispers. Agak malu membicarakan tentang kekayaan. Jadi kalau orang masih melihat label harga, atau mempersoalkan uang berarti dia belum kaya. Orang kaya itu biasanya diam-diam saja. Semakin sederhana seseorang, semakin saya was-was, jangan-jangan ini orang terkaya di dunia duduk di sebelah saya, tentu kita harus menghormati mereka ”
Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):
- Mengapa fenomena pamer ini begitu banyak akhir-akhir ini?
- Apa yang dicari orang dengan memamerkan kekayaan mereka, memamerkan sifat suka memberi mereka, memamerkan gaya hidup mewah mereka?
- Bagaimana seorang percaya harus berlaku di tengah kebutuhan jaman akan sebuah penghargaan dan peninggian ‘aku’ ini?
- Bagaimana cara untuk terhindar dari godaan dan jebakan kemuliaan?
Kesimpulan (20 menit)
“Generasi Selfie” – sebuah pelabelan yang diberikan untuk generasi Z, anak-anak yang lahir setelah generasi millennial (antara tahun 1997 – 2007) – generasi yang begitu kreatif dalam menyatakan eksistensi diri, dimana mereka dapat mengemas packaging diri mereka menjadi sebuah brand, sebuah influence (pengaruh) yang menggerakkan sekeliling menuju target yang dibidik. Ya, Gen Z ini pun dibagi dalam 2 kategori, Gen Z Me (aku) dan Gen Z We (kita) dimana Gen Z Me ini sangat peduli dengan penampilan mereka, selalu ingin tampil terbaik di antara sekitarnya, terlihat paling oke di setiap suasana. Tipikal super enjoy life dan yolo, yang penting happy dan ga pusing apa kata orang. Sebaliknya, Gen Z We adalah mereka yang ingin mengubah dunia dan punya misi besar dalam hidup. Mereka melihat dunia ini tidak sempurna dan ingin menjadi bagian dari gerakan perubahan dunia – making a world a better place. Sebuah objective yang sangat berbeda, tapi itu bermula dari siapakah yang menjadi center – pusat kehidupannya. Ketika ‘aku’ adalah pusat maka seseorang akan terjebak menjadi Gen Z Me, dan ketika ‘dampak sekeliling’ yang menjadi pusat maka ia adalah Gen Z We.
Ya, setiap manusia sesungguhnya sedang mencari kemuliaan-nya yang dahulu ada namun sekarang hilang. Firman Tuhan berkata, “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23)”. Dosa lah yang telah menjatuhkan kodrat kemuliaan kita sebagai manusia. Tapi dikarenakan ketidakmengertian kita tentang ‘dosa’ ini, kita mencoba mencari kemuliaan dengan cara yang salah. Kita berpikir kemuliaan tsb berada di kekayaan, di eksistensi diri, di popularitas, di atribut yang kita kenakan – semakin kita dihargai, memiliki banyak followers, punya banyak panggung untuk menonjolkan siapa aku – disitulah kemuliaan kita berada, kemuliaan yang semu. Firman Tuhan justru memberi kita jawaban: selesaikan masalah dosa, maka kemuliaan Allah yang hilang tsb segera menjadi atribut kita. Selama kita tidak selesai tentang dosa, meskipun kita bergelimang harta, kemuliaan Tuhan itu tidak ada dalam kita. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti (something), padahal ia sama sekali tidak berarti (nothing), ia menipu dirinya sendiri (Galatia 6:3).
Orang yang mengejar kemuliaan – berarti dia belum mulia. Orang yang mengejar kekayaan – berarti ia belum kaya. Kita mulia karena ada Allah yang mulia di dalam kita, kita kaya karena ada Allah yang kaya di dalam kita. Dan orang yang mulia serta kaya, tidaklah membutuhkan pengakuan dari sekeliling. Urusan kemuliaan dan kekayaan-nya sudah beres, sudah settled dalam pribadi-nya. Dihormati orang tidak membuat dia merasa lebih terhormat, dihina orang pun tidak membuat dia merasa terhina. Dia stabil, dia peaceful, dia settled di dalam hatinya. Mengapa? Karena dia sadar, bahwa kemuliaan yang dia kenakan itu adalah kemuliaan dari Allah karena Kristus Yesus yang telah membereskan masalah dosa-nya, dosa yang membuatnya kehilangan kemuliaan Allah. Itu adalah sebuah anugerah, bukan sesuatu yang dapat dibanggakan. Itu pencapaian orang lain (Yesus Kristus) atas kita, dan bagian kita adalah menjadi generasi pengubah dunia (Gen Z We), dan bukan generasi selfie. Fokus kita seharusnya mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Dia, dan bukannya menyedot segala atensi dan perhatian menuju kita.
Ada bahaya “godaan Lucifer” – Helel (Ibrani) yang berarti “the shining one”, dimana karena seseorang begitu berkilau segala atributnya, ia menjadi lupa daratan, ia take glory untuk dirinya sendiri dan lupa mengembalikannya kepada TUHAN dan akhirnya ia ingin dihormati seperti Allah. Itulah dosa / kemelesatan-nya dan justru itu membuat posisinya turun dari terhormat menjadi hilang kemuliaan. Seorang arsitek jauh lebih besar daripada rumah yang dibangun-nya, seorang pelukis jauh lebih besar daripada lukisannya. Semahal-mahalnya lukisan Monalisa, terlebih mahal Leonardo da Vinci. Sehebat-hebatnya mahkluk ciptaan, terlebih hebat Pencipta-Nya. Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN. Amin.