(Yunus 2)
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penyesalan itu adanya selalu diujung dari kisah kehidupan yang dijalani. Itu terjadi karena kita, manusia ini sering memiliki sudut pandang yang sangat pendek/sempit, jarang ada yang berusaha untuk memiliki pandangan yang jauh/visioner. Seandai itu ada, maka penyesalan akan menjadi jarang bahkan tiada dalam kehidupan.
Yunus, mengalami titik nadir dalam hidupnya. Itu muncul bukan karena keadaan, tapi karena kedegilan hatinya. Ia lupa sedang berhadapan dengan siapa, lalu mencoba untuk melawan dimana perlawanan yang dia lakukan sudah dapat dipastikan akan mengalami kekalahan. Ada dalam perut ikan besar itulah akibat dari perlawanan yang dilakukannya. Hingga munculah penyesalan-penyesalan dalam teks bacaan kita saat ini. Dalam penyesalan itu, Yunus kembali menyadari siapa itu Tuhan. Bahwa IA adalah sosok yang berdaulat penuh atas apapun yang ada di bumi ini. Dan sudah sepantasnya untuk tunduk padanya (2). Yunus, juga menyadari bahwa hukuman yang terjadi adalah atas keberaniannya melawan Tuhan (3). Ia sadar bahwa dirinya sudah terlempar dari kebaikan-kebaikan yang ada dan masuk dalam situasi yang sangat menyesakkan (4-6). Dalam situasi yang begitu berat, memori akan siapa Tuhan kembali muncul, doa permohonan dipanjatkan dan menariknya Yunus tidak minta dilepaskan (7-8). Akhirnya Tuhan berbelas kasih dan melepaskannya (10).
Kedaulatan Tuhan tidak bisa diganggu-gugat. Paling tidak ini adalah sudut pandang yang harus selalu ada dalam kehidupan umat. Ketika menyadari akan hal itu, maka segala sesuatu ditempatkan terlebih dahulu dari apa kira-kira yang akan dilakukan, jika aku begini dan begitu. Menjadi penyeimbang dan penuntun akan setiap langkah yang akan dilakukan. Sehingga penyesalan tidak menjadi terlalu sering ada, bahkan bisa ditiadakan dalam kehidupan ini.
Pdt. Elfriend P. Sitompul