Kami Perlu Kau, TUHAN (Yohanes 15:5, Ayub 1:21)

Bahan Diskusi (15 menit):

  1. Apa refleksi setiap kita masing-masing tentang ultah GKMI Bandung hari ini?
  2. Apakah ada perubahan secara kehidupan kita hari ini dibanding saat ulang tahun ke-38? Menjadi lebih baik atau lebih buruk? Sharing-kan ya!
  3. Apa harapan Anda tentang kehidupan Anda termasuk di dalamnya keimanan dan persekutuan Anda dengan TUHAN dan sesama setahun ke depan?
  4. Tahukah Anda, apa yang TUHAN rindukan untuk Anda alami dan miliki di momen pertambahan usia rohani ini?

Renungan Firman (15 menit):

Momen ulang tahun seringkali dijadikan momen yang pas untuk seseorang berefleksi dan merenungkan tentang keberadaan dan pencapaian dirinya. Ketika menoleh ke belakang, seseorang akan teringat tentang humble beginning (permulaan yang sederhana) ketika ia pertama kali mencari posisi pijakan dan berkata, “hallo, dunia. Ini aku telah lahir dan hadir”. Dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Walaupun diawali dalam kondisi yang serba terbatas dan serba minim namun seiring berjalannya waktu, seseorang mengalami kasih karunia demi kasih karunia, musim demi musim, hingga ia bertumbuh dan berkembang menjadi sebagaimana ia ada saat ini. Dan ketika seseorang melihat ke masa depan, semua dirangkum dalam dua kata, yaitu: ‘misteri’ dan ‘pulang’ yang artinya: kita tidak pernah tahu apa yang dunia akan berikan kepada kita di kehidupan ke depan, semua adalah misteri, namun ada satu yang merupakan kepastian – yaitu bahwa semua ini akan berakhir saat kita berpulang dan telah  selesai dalam pelintasan kita di kehidupan dunia ini.

Melihat ke masa lalu ada JasMeRah (jangan melupakan Sejarah), melihat ke masa sekarang ada ucapan syukur, melihat ke masa depan ada istighfar (selalu mawas diri dan mengingat TUHAN). Seperti seorang bayi, yang datang telanjang tanpa membawa apa-apa dan juga seseorang yang telah berpulang tanpa bisa membawa apa-apa — awalannya adalah NOL besar dan akhirannya pun juga kembali ke NOL besar sehingga segala yang sempat dimiliki dan dinikmati dalam kehidupan ini berarti adalah pemberian yang konstan dari Sang Sumber, hari demi hari, kasih karunia demi kasih karunia sehingga apapun musim kehidupan yang dunia berikan, kita selalu kuat menanggung dan melewatinya. Ya, sama seperti bayi tidak akan bisa bertahan dalam keberadaan-nya jika tidak ada orang lain (umumnya: orangtua) yang memelihara dan merawatnya hari lepas hari, demikian pula hendaknya kita menyadari bahwa keberadaan kita di dunia ini ada karena ada Pribadi yang terus mencurahkan kasih, berkat dan segala yang baik secara terus menerus kepada kita, bahkan sampai kita tidak akan pernah mengalami kekurangan.

Pertanyaan untuk Direnungkan (10 menit):

  1. Apa yang membuat pohon besar terus dapat bertumbuh dan hidup?
  2. Dari mana datangnya segala pemenuhan kebutuhan jasmani-nya?
  3. Apa yang menjadi harapan ketika pohon besar tersebut mati?
  4. Bagaimana cara untuk pohon besar tersebut dapat berusia lanjut dan kehadirannya dapat terus dirasakan bahkan berdampak terhadap sekelilingnya?

Kesimpulan (20 menit):

Ada sebuah peribahasa yang jika boleh ditambahkan kalimatnya berbunyi: “Semakin besar pohon, semakin besar angin-nya (oleh karenanya ia harus semakin terikat kepada bumi). Ya, agar pohon tidak tergoyahkan ketika angin badai menerpa, ketika musim kering datang, ketika ia semakin berbuah, maka ia harus terus mengikatkan diri ke bumi. Sebuah pohon, sebesar dan sekuat apapun, ketika ia tercabut dari bumi maka dalam waktu singkat ia akan mati. Pohon harus selalu melekat kepada tanah / bumi seperti ranting pun harus selalu melekat kepada pokok pohon. Begitu ranting terlepas dari pohon-nya, maka segera ia terpisah dari sumber dan kehilangan segala nutrisi penunjang kehidupannya dan mati.

Manusia dalam masa-masa “ku ada sebagaimana ku ada saat ini, berdiri di hadapan TUHAN dan manusia” seringkali merasa dirinya telah menjadi besar dan kuat (jika dibandingkan dengan humble beginning-nya), terlebih ketika ia telah melihat dan merasakan segala kebaikan TUHAN dalam hidupnya maka iman percaya serta pengharapannya akan hari esok begitu besar. Ia yakin bahwa segala sesuatu yang dimilikinya saat ini hanya akan semakin membesar dan hebat di masa yang akan datang. Ya, itu adalah sesuatu yang manusiawi dan sejalan dengan kerinduan Allah pada kita – menjadi manusia yang dewasa, matang dan berbuah banyak.

Namun seringkali sama seperti bangsa Israel yang dimulai dari humble beginning – bersakit-sakitan keluar dari Mesir serta mengalami peristiwa padang gurun 40 tahun untuk merendahkan hati mereka – kemudian mereka memasuki tanah perjanjian mereka dengan TUHAN dan mulai menikmati negeri berlimpah susu dan madu. Pada posisi tersebut, melihat ke diri sendiri, mereka telah menjadi kuat dan besar. Melihat ke masa depan, mereka optimis kehidupan akan semakin luar biasa karena ada Allah yang selalu menyertai dan memberkati. Maka mulailah kenikmatan hidup dan godaan kenyamanan membuat mereka melupakan TUHAN. TUHAN ada di mulut bibir dan liturgi keagamaan mereka, tapi hati mereka jauh daripadaNya. Mereka selalu memperkatakan TUHAN di tempat-tempat ibadah mereka, tapi tanpa hakikat dan esensi makrifat-Nya. Teguran dan pengajaran TUHAN untuk membuat mereka kembali berbalik kepada-Nya melalui para imam, hakim, dan nabi-Nya seringkali dianggap angin lalu atau salah sasaran (itu untuk orang lain dan bukan untuk saya). “Apa itu hukuman atau teguran? Buktinya sekarang saya sedang di posisi nyaman, jaya dan diberkati. Saya tidak merasa jauh dari TUHAN apalagi terhukum”. Ya, ia memang telah menjadi pohon yang sangat besar dan matang serta memiliki banyak ranting dan buah dimana banyak hewan berlindung dan bernaung di bawah payung canopi-nya. Namun perlahan tapi pasti, ia semakin merasa bahwa dirinya tidak perlu Sang Sumber, ia ingin memisahkan diri dari tanah / bumi. Dan di situlah awal dari segala kejatuhan – kejatuhan yang akan begitu bising dan membuat sekeliling terperanjat. Ada apa dengan pohon besar itu? Bukankah ia begitu dilimpahi kasih karunia demi kasih karunia? Takabur dan menyedihkan.

“Kami perlu Kau, TUHAN” – adalah sebuah refleksi iman yang muncul di ulang tahun ke 39 ini. Usia yang sudah cukup matang dan mandiri. Dimana dalam banyak hal, Gereja dapat berjalan sendiri dengan segala kekuatan dan kemegahan-nya. Sumber daya, jemaat, dan fasilitas – semua sudah dicukupi-Nya. Namun di situ pulalah godaan buah pengetahuan baik dan jahat muncul – manusia merasa bisa melakukan ini dan itu tanpa Allah. “Aku sudah besar dan matang, aku sudah tahu mau-Nya Allah dan aku bisa eksekusi segala sesuatu dengan faslitas yang ada”.

Musa memohon kepada Allah, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini (Keluaran 33:15)”. “Aku perlu Engkau TUHAN. Bila Engkau tak bersamaku, aku tak mau berjalan. Pimpin langkahku ya TUHAN, nyatakan kemuliaanMu dan berjalanlah bersamaku.” Ayub pun berkata, “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil. Terpujilah nama TUHAN (Ayub 1:21)!” Sadarilah bahwa semua ini adalah kepercayaan yang di-amanahkan-Nya pada kita. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *